Suharjito Penyuap Eks Menteri KKP Edhy Prabowo Berstatus Justice Collaborator, Ini Alasan Jaksa KPK

- 7 April 2021, 19:39 WIB
Sidang kasus dugaan suap ekspor benih lobster dengan terdakwa Suharjito di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 Maret 2021.
Sidang kasus dugaan suap ekspor benih lobster dengan terdakwa Suharjito di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 Maret 2021. /Restu Fadilah/ARAHKATA

PORTAL JOGJA - Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito yang didakwa menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo kini menyandang status justice collaborator.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengabulkan permohonan terdakwa penyuap eks Menteri KKP Edhy Prabowo, Suharjito, sebagai justice collaborator.

Suharjito berstatus justice collaborator merupakan pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu terungkapnya sebuah kejahatan yang lebih besar.

Baca Juga: Ini Alasan Koboi Duren Sawit Jakarta Timur Todongkan Pistol Usai Senggolan di Jalan dengan Pemotor

Baca Juga: Bayern vs PSG : Perempat Final Liga Champions Disiarkan di SCTV Berikut Prediksi Susunan Pemain

Suharjito adalah pendiri PT Dua Putra Perkasa dan pemilik PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).

Setelah melakukan kajian dan pertimbangan selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan, jaksa menilai Suharjito telah berterus terang dan kooperatif dalam memberikan keterangan serta bersedia membuka keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.

Hal ini disampaikan Jaksa saat membacakan surat tuntutan terhadap Suharjito yang didakwa menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu 7 April 2021.

Baca Juga: Giliran Desiree Tarigan Laporkan Hotma Sitompoel Ke Polres Metro Jakarta Selatan

Baca Juga: Nekat Mudik Lebaran, Dinkes Jawa Tengah Siapkan Tempat Karantina

"Kami berpendapat bahwa karena terdakwa telah berterus-terang dan kooperatif dalam memberikan keterangan serta bersedia membuka keterlibatan pihak lain di dalam perkara ini, maka permohonan terdakwa dapat dikabulkan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Siswandhono.

Dalam perkara ini, Suharjito dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, karena menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.001.440.

Uang suap itu diberikan agar Edhy Prabowo melalui Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses pemberian izin budi daya dan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) untuk PT DPPP.

Baca Juga: Rizky Febian Bocorkan Alasan Sang Ayah Tak Curhat Kepadanya saat Belum Mempersunting Nathalie Holscher

Suharjito lalu mengajukan permohonan "justice collaborator" pada 13 Januari 2021 kepada pimpinan KPK.

"Berdasarkan ketentuan peraturan yang berkaitan dengan syarat pemberian 'justice collaborator' dihubungkan dengan adanya permohonan dari terdakwa agar ditetapkan sebagai 'justice collaborator', maka setelah dilakukan kajian dan pertimbangan selama proses penyidikan, penuntutan, kami berpendapat terdakwa berterus terang," katanya.

Aturan mengenai "justice collaborator" (JC) itu ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, yaitu untuk dapat menjadi JC, pelaku harus mengakui kejahatan, bukan pelaku utama serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

Baca Juga: Pesan Jokowi Kurangi Kekerasan dalam Beragama : Pemerintah Akan Tegas Terhadap Segala Bentuk Intoleransi

"Namun demikian pemberian keterangan KPK sebagai 'justice collaborator' akan diberikan setelah terdakwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara terdakwa lainnya," ujarnya.

Dalam kasus suap ekspor benih lobster, suap diberikan secara bertahap, yaitu pertama pada 16 Juni 2020 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar 77 ribu dolar AS yang diserahkan Suharjito kepada staf khusus Edhy Prabowo bernama Safri.

Safri lalu menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy Prabowo yaitu Amiril Mukminin untuk disampaikan kepada Edhy Prabowo.

Baca Juga: 10 Orang Terkaya di Dunia 2021 Versi Forbes, Ada Jeff Bezos, Elon Musk, Mark Zuckerberg, Bill Gates

Kedua, uang "fee" diberikan kepada Safri pada 8 Oktober 2020 di ruang kerja Safri di Kementerian KKP sebesar 26 ribu dolar AS.

"Pada rentang September-November 2020, terdakwa Suharjito melalui saksi Amiril Mukminin, Andreau Misanta Pribadi, Siswadi Prantoto Loe, dan Ainul Faqih menggunakan sarana PT ACK sebesar Rp706.001.440," kata jaksa pula.

PT ACK adalah perusahaan yang dibuat oleh Amiril Mukminin atas perintah Edhy Prabowo untuk mencari perusahaan jasa pengiriman kargo (freight forwarding) untuk digunakan dalam ekspor BBL.

PT ACK bekerja sama dengan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) dengan pembagian pendapatan operasional PT PLI sebesar Rp350 per ekor BBL dan PT ACK mendapat Rp1.450, sehingga biaya keseluruhan untuk ekspor BBL adalah sebesar Rp1.800 per ekor BBL.

Baca Juga: Ambil Alih Pengelolaan TMII, Pemerintah Segera Bentuk Tim Transisi dan Jamin Tetap Beroperasi Normal

Pembagian saham PT ACK adalah Achmad Bactiar dan Amri sebagai perpanjangan Edhy Prabowo masing-masing sebesar 41,65 persen, sehingga totalnya mencapai 83,3 persen, dan Yudi Surya Atmaja (representasi pemilik PT PLI, Siswadi Pranoto Loe) sebanyak 16,7 persen.

Uang dari biaya operasional itu lalu dikelola Amiril Mukminin atas sepengetahuan Edhy Prabowo, dan dipergunakan untuk membeli sejumlah barang atas permintaan Edhy Prabowo.***

Editor: Bagus Kurniawan

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x