“Sebelum dimasak, rendam dahulu tepung sagu di dalam air bersih selama kurang lebih 15 menit, ambil pati yang mengendap, campur dengan air untuk dibuat papeda.
Teksturnya akan sama dengan papeda di Papua,” kata Chef Chato, yang kerap masuk ke hutan dengan membawa peralatan masak sangat minimal.
Baca Juga: Jam Berapa Sih Sebaiknya Kita Makan, Berikut Penjelasan Ahli
4. Ada Versi ‘Lontong’ Juga, Lho!
Papeda yang kerap kita lihat umumnya berupa bubur. Tapi, ternyata ada, lho, papeda yang bentuknya seperti lontong. Namanya papeda bungkus. Proses pembuatannya seperti papeda biasa.
Setelah matang, papeda dibungkus daun pisang atau daun fotovea (dalam bahasa Sentani disebut waibu). Uniknya, daun waibu tersedia di alam dalam dua varian warna, yaitu merah hati dan hijau. Daun pisang dan fotovea berperan sebagai penambah aroma, sehingga papeda bungkus menebarkan aroma yang khas.
Yang ‘ajaib’, daya simpan papeda bungkus ini bisa sampai satu bulan! “Tak perlu disimpan di kulkas, tak perlu dihangatkan berulang-ulang. Simpan saja di meja,” kata Chef Chato, yang mengajak pemilik resto Papua di Jakarta untuk menggali kekayaan cita rasa resep tradisional Papua langsung di Tanah Papua.
5. Sinole, Papeda Berbumbu Kaldu
Papeda tradisional rasanya plain, karena campurannya hanya sagu, air jeruk (sebagai pengental), dan air. Yang menambah rasa adalah lauk dan sayur yang mendampinginya.