Musisi Karawitan Spesialis Gender Menghadapi Gejolak Zaman Edan

- 5 Maret 2023, 05:56 WIB
 Kelompok Gamelan Kalatidha menggelar konser komposisi “Empan Papan” di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja Yogyakarta 2022.
Kelompok Gamelan Kalatidha menggelar konser komposisi “Empan Papan” di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja Yogyakarta 2022. /Instagram @psbk_jogja /

PORTAL JOGJA - Latar belakang penciptaan musik sangat dekat dengan keberadaan budaya musik itu sendiri. Bila pencipta musik dekat dengan tradisi Jawa, maka kemungkinan besar ide penciptaan komposisi musiknya tidak jauh dari tradisi Jawa. Dalam penyusunan komposisi musik, selain telah disebutkan, juga tidak bisa dilepaskan dari hadirnya inspirasi yang berasal dari musikal dan nonmusikal.

Begitu pula yang dialami oleh Wahyu Thoyyib Pambayun. Laki-laki kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah pada 5 April 1994 ini adalah musisi dan komposer gamelan yang lahir dari lingkungan keluarga yang mengakrabi alat musik gamelan Jawa. Ditambah telah menyelesaikan pendidikan formal seni karawitan dari menengah hingga perguruan tinggi di Kota Surakarta yang dikenal sebagai pusatnya budaya Jawa setelah Yogyakarta.

Komposisi musik gamelan bertajuk “Kalatidha” adalah karya yang memperlihatkan Wahyu Thoyyib Pambayun sebagai musisi yang mahir dalam bermain gender. Sebab, musikalitas yang dibangun pada bagian komposisi banyak terdengar bunyian gender. Ia sendiri pun selalu memegang alat musik gender dalam setiap pertunjukannya. Erie Setiawan, musikus dan penggiat literasi musik, menyebutnya sebagai pengrawit spesialis penggender.

Baca Juga: Ternyata Keturunan Pemahat Candi Borobudur Masih Ada, Mereka Berkumpul di Dusun Prumpung Magelang 

Inspirasi musikal terciptanya komposisi “Aruhara” yang merupakan bagian pertama dari salah satu repertoar yang terdapat dalam konser musik bertajuk Gamelan Kalatidha sejak digelar pertama pada 2018 di Surakarta. Diperoleh ketika ia mendengar genderan ada-ada Ngobong Dupa yang disajikan oleh seorang maestro penggender putri dari Surakarta bernama Sumiyati. Ia merasa kagum dan merasakan sajian Sumiyati sangat ekspresif dan berbeda dari penggender yang lain. Kekaguman itu menyebabkan ia menyusun komposisi musik yang ekspresif seperti genderan gaya Sumiyati.

Genderan ada-ada merupakan repertoar yang digunakan untuk menghidupkan adegan dalam pertunjukan wayang kulit, biasanya dibarengi dengan vokal yang dilakukan oleh seorang dalang. Ada-ada Ngobong Dupa disajikan pada adegan pertengahan pathet nem setelah adegan kedhatonan. Ada-ada ini disajikan untuk menggambarkan raja yang sedang melakukan persembahyangan.

Peran gender dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta mampu untuk menghidupkan dan menimbulkan berbagai suasana yang ingin dicapai oleh dalang. Selain itu, gender dengan berbagai polanya, seperti ada-ada, grimingan dan pathetan, mampu untuk mengekspresikan berbagai suasana,
sehingga sangat cocok bila diterapkan ke dalam komposisi musik.

Sedangkan inspirasi nonmusikal dalam karya “Kalatidha”, diperoleh ketika ia membaca Serat Kalatidha. Karya sastra tersebut ditulis pada 1860 oleh Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang merupakan pujangga terakhir Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Digambarkan bahwa keadaan pada waktu itu disebut sebagai zaman edan, para pemimpin tidak bisa dijadikan panutan, kemaksiatan dan tindakan tercela terjadi dimana-mana, kemerosotan moral yang luar biasa, bencana alam silih berganti. Keadaan pada saat itu kurang lebih sama seperti apa yang dirasakan di abad 21 ini.

Tidak hanya berhenti pada mengkritik, namun Ranggawarsita juga menawarkan alternatif solusi, bagaimana langkah-langkah menghadapi zaman edan. Sebagai karya sastra, Serat Kalatidha menunjukkan realitas zaman ketika Ranggawarsita hidup, akan tetapi bobot kebenarannya sebagai nilai moral sanggup menembus waktu hingga saat ini. Aktual, apresiatif dan cepat dapat dirasakan.

Wahyu sendiri menganggap bahwa Serat Kalatidha mampu mewadahi kegundahan hatinya seperti ketika menyampaikan sinopsis karya Kalatidha. “Saat ini, kita hidup pada zaman dimana orang yang berbuat tercela mendapat peluang, sementara orang yang berbuat baik justru terdesak ke tempat paling pinggir. Kita hidup pada zaman, dimana aturan dibuat untuk dilanggar, kita hidup pada zaman dimana ambiguitas antara kebenaran dan dusta semakin nyata," katanya

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Jurnal Gelar ISI Surakarta 2019.


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x