Ternyata Keturunan Pemahat Candi Borobudur Masih Ada, Mereka Berkumpul di Dusun Prumpung Magelang

5 Maret 2023, 05:50 WIB
Salah satu sanggar tempat pembuatan kerajinan pahat batu yang berada di Dusun Prumpung. Tempat tersebut bernama Sanggar Giri Selo milih salah satu warga setempat bernama Kodi. /desatamanagung.magelangkab.go.id

PORTAL JOGJA- Kisah-kisah seputar Candi Borobudur tidak hanya tercatat di buku-buku sejarah. Wawasan tentang peradaban di seputar situs purbakala berkelas dunia ini juga bisa digali dan menarik untuk disimak dari folklor setempat yang berkembang lestari secara turun-temurun.

Salah satunya adalah folklor yang berkembang di masyarakat pengrajin pahat batu di Dusun Prumpung Sidoharjo, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Selesainya pembangunan Candi Borobudur tak lepas dari jasa para leluhurnya kala itu. Dan dusun kecil yang terletak 29 kilometer dari Yogyakarta ke arah Magelang ini merupakan basecamp yang menjadi persinggahan para pekerja, seniman, dan arsitek pembangunan Candi Borobudur.

Baca Juga: Liga Inggris Man City vs Newcastle: The Citizens Tekuk The Magpies 2-0

Letak dusun ini dipandang begitu strategis karena berada tepat di tengah-tengah antara puncak Gunung Merapi dan lokasi pembangunan candi.

Jika secara imajiner ditarik lintasan lurus dari kaki Gunung Merapi ke arah Candi Borobudur. Maka Prumpung akan tepat berada pada titik tengahnya. Inilah lintasan sakral yang sangat dibanggakan masayarakat setempat.

Batu andesit sebagai bahan utama pembangunan candi digali di lereng Merapi. Kemudian dibawa ke Prumpung sebelum diangkut ke Candi Borobudur. Jarak antara Prumpung dan Borobudur sekitar 11 kilometer.

Suatu kebetulan unik jika dilihat dari lintasan sejarahnya bahwa di dusun inilah para pengusung batu beristirahat dan menyerahterimakan tugas pengangkutan batu yang dilakukan secara estafet kepada pengusung lain yang akan melanjutkan tugas pengangkutan ke lokasi pembangunan candi.

Di sini pulalah kala itu, para seniman pahat batu mengadu pahat dan palu besi untuk menciptakan patung dan relief historis religius yang menjiwai dan menjadi daya tarik penting sosok candi yang masih bisa disaksikan hingga hari ini.

Masuk akal jika keturunannya banyak yang menjadi pematung ulung. Selama ribuan tahun kualitas karya seni patung masyarakat Prumpung tak terpaut jauh dari keelokan seni pahat yang menghiasi Candi Borobudur.

Selama ribuan tahun pula masyarakat Prumpung mengenal seni pahat batu andesit yang mungkin merupakan satu-satunya di Indonesia. Khususnya dalam penciptaan replika barca, relief, gapura, serta miniatur candi bernuansa Hinduisme dan Buddhisme.

Sejarah mencatat di mana bangunan raksasa ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra sekitar tahun 824 Masehi. Dengan perkiraan pembangunan memakan waktu setengah abad atau selesai pada masa pemerintahan putrinya yaitu Ratu Pramudawardhani.

Sulit membayangkan bagaimana bangunan ini tercipta, mengingat teknologi yang ada pada masa itu. Entah berapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memindahkan, memotong dan memberikan karakter pada sekitar 1.600.000 blok batu andesit yang menjadi elemen Candi Borobudur. Bisa dibayangkan riuhnya keramaian pada masa itu.

Itulah imajinasi yang ada di benak pikiran masyarakat Prumpung dalam mengagumi mahakarya yang dibangun oleh nenek moyangnya pada masa peradaban Jawa Kuno. Dengan melihat Candi Borobudur yang masih berdiri gagah, kokoh, dan penuh pesona itu. Mereka dengan caranya tersendiri menceritakan sejarah keberadaan dusun yang mereka tempati.

Dalam imajinasi mereka bahwa proses panjang pembangunan Candi Borobudur telah melahirkan suasana semarak di desanya hingga lebih dari seribu tahun yang lalu.

Perilaku simpatik para pekerja pendatang disambut oleh keramahtamahan masyarakat pribumi yang sama-sama bekerja dalam pembangunan candi. Suasana kegotongroyongan tercipta sebagai perwujudan dari interaksi sosial yang sangat dinamis.

Namun, candi peribadatan umat Buddha Mahayana yang dibangun dengan susah payah itu. Ternyata hanya berfungsi hingga awal abad ke-11 Masehi. Hal ini terjadi karena munculnya bencana besar gempa bumi yang melanda Jawa Tengah yang beriringan dengan letusan Gunung Merapi.

Baca Juga: Mengenal Penulis Novel ‘Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur’ yang Akan Diangkat ke Layar Lebar

Prumpung kemudian menjadi senyap dari keramaian para pemahat batu yang pernah mewarnai denyut kehidupan dalam beberapa abad silam.

Kemudian para pemahat batu mulai ramai kembali yang seolah mengingatkan kembali dengan suasana kemrumpyungan yang pernah ada sekian abad lalu pada saat Candi Borobudur sedang dibangun. Malah dusun ini dilengkapi penambahan nama Sidoharjo sehingga menjadi Prumpung Sidoharjo yang berarti keramaian yang membawa kesejahteraan. ***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: desatamanagung.magelangkab.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler