Ki Tjokrowasito Empu Karawitan Yogyakarta yang Karyanya Meroket Sampai ke Angkasa Luar  

- 19 Maret 2023, 05:30 WIB
Ki Tjokrowasito Empu Karawitan Yogyakarta (1904-2007).
Ki Tjokrowasito Empu Karawitan Yogyakarta (1904-2007). / Foto: Jurusan Karawitan ISI Yogyakarta/

 

PORTAL JOGJA- Para filsuf dunia menyadari bahwa ritme musik memiliki efek menenangkan tubuh. Mereka mempercayai akan kekuatan dan kedahsyatan dari terapi mendengarkan musik. Karena bisa mengatur hormon-hormon di dalam otak untuk menghilangkan pikiran stres.

Namun, sebelum menikmati dan memanfaatkan alunan musik lebih jauh, sebaiknya mengenal terlebih dahulu tokoh yang berperan dalam sejarah musik di Indonesia khususnya karawitan Jawa.

Adalah almarhum Ki Tjokrowasito yang telah mengabdi puluhan tahun di kancah musik karawitan. Berbagai gending dan lagu karawitan yang berisi pesan-pesan pembangunan maupun karya komposer yang mendunia tidak akan luput dari jejaknya. Sehingga mendapat julukan empu karawitan atau maestro seni gamelan yang dihormati di kalangan musik berbagai negara.

Baca Juga: Mengintip Tumurun Private Museum Milik Keluarga Sritex Sukoharjo 

Nama kecil Ki Tjokrowasito adalah Wasi Jolodoro. Ia lahir pada 17 Maret 1904 di Kampung Gunungketur Kota Yogyakarta. Ayahnya, Raden Wedana Padmowinangun adalah abdi dalem Puro Pakualaman Yogyakarta dengan jabatan Lurah Langen Praja atau pemimpin gamelan istana. Sehingga nyaris masa kecilnya dibesarkan dan dididik di tengah lingkungan seni karawitan dalam Puro Pakualaman.

Mulai belajar karawitan sejak usia lima tahun bersama dengan putra-putri Paku Alam dalam kelompok gamelan yang dipimpin oleh ayahnya tersebut. Pernah juga belajar karawitan dengan seorang empu karawitan dari Keraton Kasunanan Surakarta.

Anak kedua yang punya kakak perempuan ini, mengenyam pendidikan formal di Adi Dharma atau Tamansiswa pada usia 11 tahun. Ia hanya sekolah sampai kelas IV dan pada saat itu pula ia menamatkan Sekolah Islamiyah di Puro Pakualaman.

Pada usia 13 tahun ia sudah ikut pentas karawitan dalam pembukaan sekolah Tamansiswa. Sehingga di usianya yang baru 16 tahun sudah diikutkan magang sebagai anggota Langen Praja (1925–1927). Pada 1932 ia diangkat menjadi abdi dalem dan memperoleh nama Raden Bekel Tjokrowasito yang kemudian dikenal sebagai Pak Cokro. Sebelumnya, ia pernah bekerja di Pabrik Gula Muja-Muju Yogyakarta dan pegawai salah satu kantor keuangan di Kesultanan Yogyakarta.

Ki Tjokrowasito dalam kehidupan rumah tangga mempunyai delapan anak dari istri pertamanya, Musinah. Sedangkan dengan istri kedua, Pradoposari, ia memiliki tujuh anak.

Jasa-jasanya begitu besar dalam usahanya memajukan seni karawitan di Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Sehingga dikenal sebagai pelopor pembaharuan dalam menciptakan gending-gending Jawa.

Atas prestasinya tersebut, ia kemudian dipercaya sebagai direktur musik gamelan di stasiun Radio Mavro (Mataram Sche Vereeniging Radio Omroep) Hindia Belanda (1934), Radio Hoso Kyoku (1942-1945) selama pendudukan Jepang.

Pada 1951 diangkat sebagai Kepala Unit Kesenian RRI Nusantara II Yogyakarta. Ia juga diangkat sebagai pengajar di Konservatori Tari Indonesia (KONRI) Yogyakarta dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta.

Ki Tjokrowasito pernah mendirikan perkumpulan yang berkaitan dengan seni karawitan dan tari, yaitu Mardi Wirama, Langen Budaya, Lebda Swara, dan Pusat Olah Vokal Wasitodipuro.

Ki Tjokrowasito menguasai teknik permainan semua instrumen gamelan, namun memiliki spesialis dan dikenal sebagai pengrebab (pemain rebab) yang hebat yang pilih tandhing atau sulit untuk ditandingi.

Pada saat menjabat Kepala Unit Kesenian RRI Yogyakarta, ia dianugerahi gelar Raden Ngabehi Tjokrowasito oleh KGPAA Paku Alam VII. Gelar keningratannya terus berlanjut hingga masa Paku Alam VIII dan IX, seiring dengan prestasi yang terus menanjak di dunia karawitan: Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Wasitodiningrat dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notoprojo.

Pada 1952 Ki Tjokrowasito menciptakan gending Jaya Manggala Gita yakni sebuah gending patriotis yang dipersembahkan kepada negara. Karena negara telah memberikan imaji kejayaan zaman Kertanegara sampai Proklamasi 1945. Gending tersebut digelar di Pura Pakualaman dengan menggunakan gamelan laras slendro dan pelog. Karyanya itu dapat memadukan gamelan umum dengan gamelan sakral dan kuno, yakni Carabelan, Kodok Ngorek, dan Monggang.

Ki Tjokrowasito juga menciptakan gending ilustrasi tari yang memasukkan unsur Banyuwangi, Banyumasan dan Sunda. Tidak ketinggalan gending-gending politik diciptakan pula, seperti Usdek yang mengajak rakyat percaya pada program Soekarno. Awal Orde Baru pun menciptakan karya-karya jargon pembangunan, seperti gending Modernisasi Desa (1970).

Keahliannya dalam bidang karawitan yang diwarnai dengan nilai-nilai pembangunan yang berakar dari budaya Jawa. Menjadikan namanya melejit sampai ke luar negeri sebagai anggota misi kesenian maupun sebagai tenaga pengajar. Tak heran jika Ki Tjokrowasito pernah menjadi profesor di California Institute Of The Arts Amerika Serikat dan universitas bergengsi di berbagai benua. Hingga kemudian bermukim di Negeri Paman Sam selama puluhan tahun (1971-1992).

Sehingga, ia banyak memperoleh penghargaan dan piagam dalam bidang kesenian. Murid-muridnya tersebar di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan sebagian telah mencapai gelar Ph.D, serta menjadi pengajar musik karawitan di lembaga-lembaga pendidikan kesenian.

Kekuatan karya ciptaan Ki Tjokrowasito antara lain pada pesan moral yang terselip, baik melalui syair maupun irama. Keberpihakannya terhadap masyarakat kelas bawah, membuatnya menghayati setiap gubahan dan berkontribusi pada gubahan yang diciptakannya.

Tahun 1992 secara mengejutkan, salah satu karya Ki Tjokrowasito berjudul Purnamasidi, dipilih oleh NASA yaitu Badan Antariksa Amerika Serikat, untuk dikirimkan ke angkasa luar.

Nama misi bentukan Amerika Serikat tersebut, yaitu Voyager Golden Record atau Piringan Emas Penjelajah. Adalah sebuah rekaman fonograf yang disertakan dalam dua penerbangan pesawat penjelajah angkasa luar yang diluncurkan sejak 1977.

Piringan emas tersebut berisi suara-suara serta gambar-gambar pilihan yang bertujuan menggambarkan keanekaragaman makhluk hidup dan budaya di Planet Bumi.

Piringan dibuat dari tembaga berlapis emas dan ditujukan kepada bentuk kehidupan angkasa luar yang cerdas atau manusia bumi pada masa depan yang mungkin akan menemukannya. Piringan emas ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai sistem bintang lain.

Program pengiriman suara musik ke Planet Neptunus tersebut, merupakan program yang sangat prestisius untuk memancing feedback bahwa adakah kehidupan lain di angkasa luar, khususnya di Planet Neptunus.

Gending Purnamasidi karya Ki Tjokrowasito dianggap musik terbaik, sehingga menjadi urutan pertama yang dikirim NASA ke angkasa luar pada dini hari pukul 02.00. Kemudian dikirim kedua dan ketiga komposisi musik karya Johann Sebastian Bach dan Ludwig van Beethoven. Sehingga tak mengherankan, jika kemudian ia disejajarkan dengan musisi-musisi besar dunia tersebut.

Baca Juga: Rombongan Buruh Gendong Bertemu Kapolda DIY di Pasar Kangen 

Setelah melahirkan 250 lebih gending selama berkarya di dunia karawitan. Ki Tjokrowasito menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya, Kampung Wirogunan, pada 30 Agustus 2007 dalam usia 103 tahun. Penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Jokowi ini, dipusarakan di Astana Girigondo yakni pemakaman khusus kerabat Puro Pakualaman di Kabupaten Kulonprogo, D.I. Yogyakarta.

Begitu besar peran Ki Tjokrowasito dalam musik karawitan di Indonesia hingga memperkenalkan ke seluruh dunia. Sudah sepatutnya diteladani dan dijadikan motivasi bagi seniman karawitan dalam berkarya. Keberadaan musik karawitan yang diwariskan para leluhur tidak untuk dilupakan. Tetapi, tugas generasi mudalah yang wajib meneruskan dan mempertahankan sebagai benteng jati diri bangsa, agar tidak tergeser oleh kebudayaan luar.***

 

 

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Kebudayaan Kemdikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x