Angkutan Sungai Indonesia dari Perahu Getek Sampai Sampan

- 10 Maret 2023, 05:25 WIB
Penggunaan transportasi perahu sampan di pasar terapung sungai Barito Banjarmasin Kalimantan Selatan
Penggunaan transportasi perahu sampan di pasar terapung sungai Barito Banjarmasin Kalimantan Selatan /Chandra Adi N/@portaljogja.com/

PORTAL JOGJA - Sudah sejak lampau transportasi air menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Terutama daerah pantai dan wilayah-wilayah yang memang banyak dilintasi oleh sungai-sungai besar.

Bila kawasan pantai mengenal istilah transportasi laut, maka penduduk yang tempat tinggalnya berbatasan dengan sungai, sudah pasti mengenal istilah angkutan sungai.

Angkutan sungai adalah salah satu bentuk sistem angkutan barang dan penumpang. Sistem angkutan ini termasuk tua dan masih menjadi sistem angkutan utama di wilayah-wilayah tertentu bahkan di wilayah yang lebih maju sistem transportasinya seperti di Eropa.

Baca Juga: Berapa Sih Gaji Guru PPPK, Yuk Kita Cek Disini 

Sejarah angkutan sungai di Indonesia dimulai sejak zaman prasejarah sejak manusia telah melakukan aktivitas transportasi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Pada awalnya perahu yang digunakan berupa rakit bambu atau batang kayu besar yang dibentuk dengan membuat lubang di tengah. Perlahan pemikiran manusia semakin maju, berbagai jenis perahu mulai tercipta. Mulai dari Perahu Getek, Perahu Lesung, Sampan, sampai Perahu Boat yang menggunakan tenaga mesin.

Pada masa modern, pemerintah menggalakkan pengangkutan melalui sungai terutama di daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Sungai dijadikan sarana untuk mengantarkan kayu-kayu hasil tebangan hutan menuju tempat penampungan.

Beragamnya suku bangsa di Indonesia juga turut memberi warna tersendiri pada angkutan sungai. Sehingga akhirnya banyak angkutan sungai yang memang identik dengan suatu suku atau wilayah di Indonesia.

Seperti alat transportasi sungai yang disebut Kelotok atau Ketinting yaitu sebuah perahu kecil dengan jumlah muatan hingga sepuluh orang. Perahu jenis ini bisa dijumpai di daerah Kalimantan yang memang sangat mengandalkan jalur sungai sebagai penghubung utama antar wilayah.

Kehidupan orang Kalimantan sendiri seperti tidak terpisahkan dengan Perahu Kelotok. Bahkan kelotok kini dikembangkan sebagai pasar terapung yang sangat diminati oleh turis-turis mancanegara.

Masih di Kalimantan, tepatnya di sekitar Pontianak. Angkutan sungai ini biasa disebut dengan Kapal Bandong. Walaupun tidak beroperasi lagi semenjak 1970-an, namun pada zamannya, kapal ini menjadi alat transportasi vital yang menghubungkan pusat kota dengan daerah-daerah pedalaman Kalimantan.

Dengan panjang sekitar 20-25 meter dan lebar 10-12 meter, kapal kayu ini dirancang sedemikian rupa dan diberi atap sehingga menyerupai rumah apung. Terlepas dari itu, Kapal Bandong kini sudah mulai terpinggirkan seiring dengan pesatnya kemajuan akses jalan dan transportasi darat. Bahkan banyak dari generasi muda yang tidak mengetahui keberadaannya.

Selanjutnya ada angkutan sungai yang disebut Bus Air. Moda transportasi ini dapat dilihat di Sungai Kapuas, Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Mahakam dan danau di Sumatera seperti di Danau Toba, Sungai Siak, Sungai Musi dan Papua. Bus Air sendiri adalah angkutan penumpang dan barang melalui air.

Di kota-kota besar seperti Palembang dan Banjarmasin, tidak saja berfungsi untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas dan angkutan, tetapi juga merupakan alat transportasi yang menyuguhkan warna-warni pemandangan kota, ataupun sebagai bagian dari wisata air di perkotaan.

Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah alat angkutan sungai disebut Perahu Compreng yang masih menjadi primadona hingga kini. Perahu Compreng dapat mengangkut hingga 20 penumpang. Selain digunakan untuk angkutan wisata, peminat perahu ini cukup tinggi karena merupakan angkutan yang paling efektif.

Alat angkutan sungai yang termuda adalah Kapal Motor Jakarta Waterways. Kemunculannya bisa jadi merupakan romantisme masa silam. Seperti diketahui bahwa tempo dulu transportasi lewat jalur sungai merupakan primadona bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Mulai dari Sungai Ciliwung hingga ke Cisadane-Bekasi, terbentang jalur transportasi yang menjadi urat nadi kehidupan kota.

Pada 6 Juni 2007 Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meresmikan Waterways untuk melihat kembali geliat kehidupan di pinggir-pinggir sungai Jakarta seperti dahulu. Namun, harapan yang membumbung tinggi tersebut, perlahan-lahan meredup seiring dengan turunnya minat masyarakat pada transportasi sungai sepanjang 1,7 kilometer yang terbentang dari Dermaga Halimun hingga Dermaga Karet ini.

Setelah bertahan selama kurang lebih setahun, Waterways kini benar-benar terbengkalai. Proyek ini hanya menyisakan dermaga yang berupa bangunan bergaya adat Betawi berukuran 1x2 meter dengan cat hijau penuh debu dan tampak kumuh. Nasib dermaga yang merana tersebut tidak jauh beda dengan nasib kapal motornya. Dua buah Kapal Motor Waterways yang biasa merapat di dermaga tersebut kini seakan raib begitu saja. Nasib Dermaga Halimun juga setali tiga uang dengan Dermaga Karet.

Baca Juga: Wisata Gua Seplawan Purworejo, Pernah Ditemukan Arca Emas 22 Karat

Pada akhirnya memang diperlukan perhatian dan niat kuat dari pemerintah dalam membenahi angkutan sungai agar nasib Kapal Bandong dan Kapal Motor Waterwasy tidak terulang kembali di kemudian hari.

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah sebaiknya menanggulangi kekurangan-kekurangan yang selama ini masih dihadapi oleh angkutan sungai. Sehingga Indonesia sebagai bangsa Maritim akan dengan bangga mengatakan kalau di negara ini angkutan sungai bisa menjadi transportasi alternatif. ***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: dephub.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x