Ketika Penari Lengger Berupaya Keluar dari Identitas Kelenggeran yang Telah Membesarkan Namanya

7 Maret 2023, 17:02 WIB
Cuplikan aksi Otniel Tasman dalam pertunjukan lengger bertajuk Exit dalam Festival Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022. /Instagram @psbk_jogja /

PORTAL JOGJA - Sejarah cross gender sebenarnya sudah ada dari zaman dahulu. Hampir setiap daerah di Pulau Jawa punya tradisi ini. Misalnya di Banyuwangi, Jawa Timur, pada era revolusi fisik melawan Tentara Belanda, seni cross gender menjadi sangat bermanfaat untuk para pejuang gerilya yang akan berperang. Mereka jadi semacam telik sandi atau intelijen yang menyamar menjadi penari perempuan.

Seni cross gender di keraton dan berbagai daerah digunakan untuk ritual. Karena mayoritas masih menganut animisme. Sementara wanita jika menstruasi tidak boleh melakukan ritual. Akhirnya tarian tersebut dimainkan oleh laki-laki.

Saat ini salah satu pelestari tarian cross gender adalah Didik Hadiprayitno atau popular disebut Didik Nini Thowok.

 Baca Juga: Mitos dan Mistis Gunung Merapi yang Masih Dipercaya Sampai Sekarang

Didik dalam buku biografinya berjudul “Didik Nini Thowok: Menari Sampai Lahir Kembali” yang ditulis Herry Gendut Janarto dan diterbitkan pada 2005 mengatakan bahwa sekitar tahun 70-an, seorang laki laki yang menarikan wanita, dianggap banci. Banyak yang melecehkan, bahkan, dosennya pun pernah mengatakan ia merusak tari karena menarikan tari putri. Didik menekankan bahwa tari cross gender bukanlah asal penari laki-laki menari perempuan. Ada filosofi yang lebih dalam lagi dan sebagainya.

Tekanan yang diberikan baik dari orang tua maupun masyarakat membuat individu-individu yang berbakat tidak berkesempatan mendapat edukasi yang benar, yang pada akhirnya membuat mereka memilih jalan yang salah. Kenyataannya banyak stylist, ahli make-up film, atau desainer top dunia adalah cross gender. Tapi di Indonesia, hal seperti itu kemudian diharamkan dan menjadi sensitif karena dikaitkan dengan politik dan agama.

Kurangnya edukasi dalam masyarakat menanamkan stigma yang salah terhadap pria yang menari. Seni budaya butuh diedukasi sejak kecil. Jika selalu bilang tabu, sampai besar anak-anak hanya tahu bahwa itu tidak boleh.

Padahal pasti ada alasan kenapa ada orang melakukan itu, sehingga perlu diteliti lebih lagi. Dalam seni tradisi, cross gender bukan sesuatu yang perlu dipolitisir. Karena tradisi itu ada dari zaman dulu di konteks kesenian.

Sekarang ini para generasi milenial diharapkan memegang peran besar dalam mendobrak stigma yang sudah terbentuk di masyarakat sejak dahulu kala. Lebih-lebih pada era Orde Baru yang banyak membuat larangan bahkan mengintimidasi sesuatu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menunjukkan prestasi dalam bidang tersebut dan membuktikan bahwa pria yang menari bukan berarti adalah banci.

Salah satu contohnya adalah Otniel Tasman yang lahir pada 25 Januari 1989 di Banyumas, Jawa Tengah ini. Laki-laki yang memiliki perawakan gemulai ini, sejak kecil sudah aktif berkesenian terutama bidang musik dan vokal hingga meraih juara pertama lomba mocopat tingkat kecamatan. Pada usia 5 tahun untuk pertama kalinya menyaksikan pertunjukan lengger yang merupakan tarian tradisional khas Banyumas.

Namun, justru minatnya pada dunia tari muncul setelah sang ibu menghadiahi sampur (selendang tari) untuknya. Kemudian memutuskan belajar formal seni tari dari tingkat menengah hingga perguruan tinggi meski awalnya ditentang keluarga.

 Baca Juga: Tinjau Pelaksanaan Sisir Adminduk Bupati Sleman Ajak Masyarakat Tertib Administrasi

Sejak sekolah di SMKI Banyumas, Otniel sudah menunjukan minatnya pada koreografi, bahkan pernah mewakili sekolah dan Kabupaten Banyumas menjadi koreografer dalam berbagai forum dan festival seni. Salah satu karyanya saat itu ialah “Lewong” yang bercerita tentang ritual pemanggilan hujan di Banyumas oleh para penari Lengger. Inilah yang menjadi titik awal Otniel mengeksplorasi tari tradisi Banyumas khususnya Lengger ke dalam karya-karyanya. Ia berharap dapat memperkenalkan tradisi tari Banyumas kepada publik yang lebih luas.

Semasa kuliah hingga berkarir sebagai penari sering terlibat dalam sejumlah karya koreografi ternama seperti, Solo Dance Studio pimpinan Eko Supriyanto dalam karya “Refuges dan Tawur,” “Mejikuhibiniu” (Dwi Windarti), “Manusia Pasir” (Wisnu HP), “Ronggeng Dukuh Paruk” (Cahwati), ”Risang Wrahatnala” (Wahyu Santoso Prabowo) dan sebagainya. Ia juga Otniel pernah mewakili Indonesia dalam Southeast Asian Young Choreolab di Malaysia (2014).

Karya koreografi tugas akhir kuliahnya pernah dipentaskan ulang dalam program Dewan Kesenian Jakarta yang digelar di Taman Ismail Marzuki 2014. Sejak saat itu, namanya kian berkibar dan tampil di festival-festival mancanegara.

Karya-karya Otniel sebagai penari mandiri banyak mengambil cerita tentang lengger. Ia tak ingin membuat karya tari kontemporer dengan gerakan baru, namun senang mengolah tradisi menjadi lebih segar.

Dalam karya “Lengger Laut” ia mengkonstruksi tari Lengger Lanang yang biasanya dipentaskan laki-laki dengan gerakan gemulai. Ia justru menampilkan penari laki-laki yang maskulin. Karya ini meraih Hibah Seni Kelola 2014 dan ditampilkan pula pada perhelatan Europalia 2017 di Belgia.

Sedangkan dalam karya “Cablaka” ia menggabungkan elemen lengger dengan dangdut koplo. Bagian yang mencolok yaitu dimana gerakan penari dapat digambarkan sebagai erotis yang menghadirkan dualitas pelengkap energi maskulin dan feminim. Otniel mengatakan bahwa Cablaka menggambarkan sikap orang-orang Banyumas yang lugas, transparan, mengikuti arus, namun kuat dalam ketabahan.

Menurut Otniel bahwa lengger mewakili nilai kesuburan dimana pria dan wanita bergabung menjadi energi tunggal yang sempurna. Sehingga ketika seseorang mampu mengelola energi maskulin dan feminin, dualisme laki-laki dan perempuan, sebenarnya telah mewakili kemanusiaan yang sempurna.

Melalui seni bisa merangkul orang lain. Seni adalah ruang cair dimana setiap orang bebas mengekspresikan diri. Bagaimana mempertahankan kebebasan itu juga alasan mengapa yang rentan dapat bertahan hidup. Mari ubah stigma yang telah melekat dalam masyarakat dengan edukasi seni tari sejak usia dini.

Namun, karya koreografi Otniel Tasman berjudul “Exit” yang disajikan bersama kelompok tarinya, Otniel Dance Community, pada Festival Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022.

Terlihat sekali bahwa Otniel Tasman telah mengebiri identitas yang selama ini melekat pada dirinya, dualisme laki-laki dan perempuan, atau maskulin dan feminim. Judul karyanya saja sudah sangat mencolok dan mudah ditebak maksud yang ingin disampaikan yaitu Exit yang berarti keluar.

Baca Juga: Ide Perjalanan untuk Jelajah Liburan di Bali dalam 3 Hari 

Telah dijelaskan menurut pengakuannya bahwa Otniel Tasman tidak mau jadi pendeta sesuai yang diharapkan orang tuanya, yang sejak awal juga melarangnya menempuh pendidikan formal tari. Dan ia berhasil keluar dari keinginan orang tuanya tersebut dengan memilih menari sebagai jalan hidupnya. Tari Lengger lah yang akhirnya menarik dan menerima dirinya dari yang maskulin ke feminim, serta menjadi identitas gaya kepenarian dalam berkesenian. Hingga sukses mengantarkan pada ketenaran sebagai koreografer yang diperhitungkan.

Namun, mengapa di masa lalunya harus berjuang mati-matian, menghilangkan stigma direndahkan yang sejak kecil telah mengintimidasinya. Bahkan berusaha meyakinkan orang tuanya sendiri, dengan sebuah prestasi yang gemilang di bidang tari. Jika pada akhirnya malah keluar dari identitas kelenggeran yang telah membesarkan namanya.

Dengan karakter tubuh gemulai, Otniel Tasman tidak cocok jika ingin memerankan tarian yang maskulin meskipun dirinya laki-laki. Jadi, sebaiknya tetap mempertahankan identitas diri dengan tarian-tarian yang sesuai dengan karakter tubuhnya.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler