R.A. Kartini, Sosok Tokoh Pejuang Emansipasi di Tengah Budaya Patriarki

21 April 2021, 08:10 WIB
Ilustrasi Kartini Day atau Hari Kartini diperingati setiap 21 April. /Pikiran Rakyat/Hening Prihatini

PORTAL JOGJA – Di Indonesia tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, tokoh pahlawan nasional yang dikenal dengan semangat emansipasi wanitanya di saat budaya patriarki diterapkan sangat kuat.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi bisa bermakna sebagai, ”persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).

Kartini adalah salah satu perempuan Indonesia yang memperjuangkan persamaan hak perempuan dan laki-laki secara gigih.

Kartini yang lahir tanggl 21 April 1879 ini merupakan putri bangsawan yang menjabat sebagai Wedana di Mayong Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kakek Kartini adalah Bupati Jepara Pangeran Ario Tjondronegoro IV.

Baca Juga: Supersemar: Sebuah Dokumen Bersejarah Yang Hingga Kini Masih Mengundang Perdebatan

Sebagai anak bangsawan, Kartini berhak mengenyam pendidikan. Sang ayah pun menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Disini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda.

Namun, karena kebiasaan masa itu, yang mengharuskan anak perempuan harus dipingit di dalam rumah, Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Dari sinilah pergolakan batin dan perjuangan Kartini bermula. Meski terkurung di dalam rumah, Kartini tetap memperluas cakrawala pengetahuannya melalui kegiatan korespondensi dengan beberapa sahabat di luar negeri. Salah satu nama yang terkenal adalah Rosa Abendanon.

Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca tentang  kemajuan berpikir perampuan Eropa. Belakangan surat-surat Kartini pada Abendanon pun diterbitkan menjadi sebuah buku.

Baca Juga: Mengenang Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Buktikan Pada Dunia Bahwa RI Masih Ada

Dari komunikasi dengan Abendanon dan berbagai bacaan yang ia terima dari sahabatnya itu, lantas muncullah keinginan Kartini untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang amat rendah.

Dengan budaya patriarki yang begitu kuat, perempuan Indonesia non bangsawan atau perempuan biasa sama sekali tidak diberi kesempatan belajar atau bersekolah. Hal itu memunculkan kegelisahan pada diri Kartini.

Selain terpaksa berhenti sekolah karena dipingit, Kartini juga diminta menikah dengan seorang laki-laki yang telah memiliki tida orang istri. Ia dijodohkan ayahnya untuk menjadi istri ke-empat dari Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini menikah pada 12 November 1903.

Baca Juga: Mengenal Prof Dr Sardjito Pahlawan Nasional Asal Yogyakarta, Pejuang, Ilmuwan dan Rektor UGM Pertama

Melihat semangat Kartini, Bupati Rembang itupun mengizinkan istrinya membangun sebuah sekolah wanita di pintu gerbang kompleks kantor Bupati Rembang.  Sayang, belum sempat berkiprah lama untuk memajukan sekolahnya.

Hanya berselang beberapa hari setelah melahirkan putranya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904, Kartini wafat pada 17 September 1904 atau pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang Jawa Tengah.***

Editor: Siti Baruni

Sumber: LPMP Riau

Tags

Terkini

Terpopuler