Ketika Penari Lengger Berupaya Keluar dari Identitas Kelenggeran yang Telah Membesarkan Namanya

- 7 Maret 2023, 17:02 WIB
Cuplikan aksi Otniel Tasman dalam pertunjukan lengger bertajuk Exit dalam Festival Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022.
Cuplikan aksi Otniel Tasman dalam pertunjukan lengger bertajuk Exit dalam Festival Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022. /Instagram @psbk_jogja /

Salah satu contohnya adalah Otniel Tasman yang lahir pada 25 Januari 1989 di Banyumas, Jawa Tengah ini. Laki-laki yang memiliki perawakan gemulai ini, sejak kecil sudah aktif berkesenian terutama bidang musik dan vokal hingga meraih juara pertama lomba mocopat tingkat kecamatan. Pada usia 5 tahun untuk pertama kalinya menyaksikan pertunjukan lengger yang merupakan tarian tradisional khas Banyumas.

Namun, justru minatnya pada dunia tari muncul setelah sang ibu menghadiahi sampur (selendang tari) untuknya. Kemudian memutuskan belajar formal seni tari dari tingkat menengah hingga perguruan tinggi meski awalnya ditentang keluarga.

 Baca Juga: Tinjau Pelaksanaan Sisir Adminduk Bupati Sleman Ajak Masyarakat Tertib Administrasi

Sejak sekolah di SMKI Banyumas, Otniel sudah menunjukan minatnya pada koreografi, bahkan pernah mewakili sekolah dan Kabupaten Banyumas menjadi koreografer dalam berbagai forum dan festival seni. Salah satu karyanya saat itu ialah “Lewong” yang bercerita tentang ritual pemanggilan hujan di Banyumas oleh para penari Lengger. Inilah yang menjadi titik awal Otniel mengeksplorasi tari tradisi Banyumas khususnya Lengger ke dalam karya-karyanya. Ia berharap dapat memperkenalkan tradisi tari Banyumas kepada publik yang lebih luas.

Semasa kuliah hingga berkarir sebagai penari sering terlibat dalam sejumlah karya koreografi ternama seperti, Solo Dance Studio pimpinan Eko Supriyanto dalam karya “Refuges dan Tawur,” “Mejikuhibiniu” (Dwi Windarti), “Manusia Pasir” (Wisnu HP), “Ronggeng Dukuh Paruk” (Cahwati), ”Risang Wrahatnala” (Wahyu Santoso Prabowo) dan sebagainya. Ia juga Otniel pernah mewakili Indonesia dalam Southeast Asian Young Choreolab di Malaysia (2014).

Karya koreografi tugas akhir kuliahnya pernah dipentaskan ulang dalam program Dewan Kesenian Jakarta yang digelar di Taman Ismail Marzuki 2014. Sejak saat itu, namanya kian berkibar dan tampil di festival-festival mancanegara.

Karya-karya Otniel sebagai penari mandiri banyak mengambil cerita tentang lengger. Ia tak ingin membuat karya tari kontemporer dengan gerakan baru, namun senang mengolah tradisi menjadi lebih segar.

Dalam karya “Lengger Laut” ia mengkonstruksi tari Lengger Lanang yang biasanya dipentaskan laki-laki dengan gerakan gemulai. Ia justru menampilkan penari laki-laki yang maskulin. Karya ini meraih Hibah Seni Kelola 2014 dan ditampilkan pula pada perhelatan Europalia 2017 di Belgia.

Sedangkan dalam karya “Cablaka” ia menggabungkan elemen lengger dengan dangdut koplo. Bagian yang mencolok yaitu dimana gerakan penari dapat digambarkan sebagai erotis yang menghadirkan dualitas pelengkap energi maskulin dan feminim. Otniel mengatakan bahwa Cablaka menggambarkan sikap orang-orang Banyumas yang lugas, transparan, mengikuti arus, namun kuat dalam ketabahan.

Menurut Otniel bahwa lengger mewakili nilai kesuburan dimana pria dan wanita bergabung menjadi energi tunggal yang sempurna. Sehingga ketika seseorang mampu mengelola energi maskulin dan feminin, dualisme laki-laki dan perempuan, sebenarnya telah mewakili kemanusiaan yang sempurna.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x