Sejarah dan Asal Muasal Nama Warung Hik di Solo Raya

27 Februari 2023, 05:36 WIB
Ilustrasi warung HIK Solo /DOk Humas Prov Jateng

PORTAL JOGJA - Suasana khas di sudut-sudut kota dan pedesaan di wilayah Soloraya adalah terdapat tempat wedangan yang dikenal dengan sebutan warung hik.

Keberadaan ketel di salah satu bagian sisi gerobak dengan anglo sebagai medium pemanasnya merupakan ciri khas dari warung hik ini.

Menu yang dijual mulai dari aneka ragam gorengan, baceman dan tusukan. Nasi istimewanya disebut sego kucing yang terdiri dari nasi sekepal, sambal dan lauk ikan bandengnya cuma sepotong kecil seperti seukuran untuk makan kucing.

Minuman pun tersedia mulai dari yang dingin sampai yang nasgitel jika pesan teh atau susu. Harga menu yang dijual semuanya sangat murah meriah dan cukup bagi isi kocek golongan profesi apapun.

Baca Juga: Kemenparekraf Promosikan Desa Wisata Indonesia di ASTINDO Travel Fair 2023

Berada di warung hik bebas sepuasnya artinya pembeli bisa melewatkan berjam-jam tanpa takut diusir penjual walau makanan telah habis dan tidak pesan lagi.

Sebelum ada istilah hik, warung macam ini lebih dikenal dengan sebutan angkringan. Awalnya diciptakan oleh Karsodikromo dari Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Sehingga daerah tersebut telah dibangun Monumen Cikal Bakal Angkringan yang diresmikan oleh Bupati Klaten, Sri Mulyani, pada 26 Februari 2020 dan setahun kemudian menyusul dibangun Museum Angkringan.

Angkringan lahir dari inovasi Karsodikromo yang masa mudanya akrab dipanggil Jukut. Pada 1930-an ia merantau ke Kota Solo ketika masih berusia 15 tahun. Alasan merantau karena ayahnya meninggal dunia, maka sebagai sulung dari empat bersaudara, ia merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya.

Sesampainya di Kota Solo bertemu dengan Mbah Wiryo yang mengajaknya berdagang makanan pikulan. Pertemuan tersebut merupakan awal sejarah angkringan dimulai dan akhirnya banyak meniru yang kini telah menyebar ke seluruh dunia.

Dulu cara berjualannya dipikul keliling. Kini, cara tersebut telah hilang. Bisa dibilang saat ini tidak dijumpai satu atau dua penjual angkringan yang menggunakan pikulan. Mereka mulai tergeser dan meniru cara berjualan kaki lima yang menggunakan gerobak dorong dan menetap mendirikan lapak di sudut-sudut kota dengan beratapkan terpal mirip bangunan tenda kemah dan berlampu cahaya yang dibuat temaram.

Nama angkringan berasal dari kata bahasa Jawa methangkringke sikile yang artinya duduk ngobrol santai sambil makan atau minum dan mengangkat salah satu kakinya di bangku. Angkring dalam arti lainnya berarti pikulan.

Lalu kenapa nama angkringan yang legendaris itu, ada yang menyebutnya dengan istilah warung hik?

Nama hik memang masih merupakan sebuah misteri yang belum terpecahkan. Tetapi menurut artikel dalam Majalah Pertanian Agrineca, edisi IV Juni 1993 berjudul “Hik: Kerling Mata Kota Yang Tak Pernah Tidur”, disebutkan bahwa istilah hik ada karena para penjualnya mengeluarkan suara ‘hik’ seperti orang yang mengangkat beban yang terlampau berat.

Dahulu penjual makanan pikulan ini menjajakan dagangannya masuk kampung ke kampung dari depan rumah ke depan rumah berikutnya. Setelah si penjual selesai melayani pembeli dengan segera beranjak ke tempat lain untuk mencari calon pembeli berikutnya.

Baca Juga: Makanan Tahu Lambang Kesederhanaan Rakyat Indonesia

Nah, disaat siap-siap akan memikul itulah keluar suara hik dari mulut si penjual yang terbebani dengan beratnya beban yang dipikulnya—tempat jualan—itu. Suara hik dari si penjual itu sampai terdengar dengan jelas oleh si pembeli yang baru masuk ke dalam rumahnya.

Lama-kelamaan suara hik yang setiap hari didengar oleh si pembeli itu kemudian disematkan kepada si penjual pikulan yang setiap hari nongol di depan rumahnya. Sejak saat itulah si penjual makanan yang memakai pikulan tadi dijuluki, bakul hik, hingga sekarang.

Berdasarkan sumber tersebut, bisa dikatakan bahwa istilah kata hik bukanlah kepanjangan dari “hindangan istimewa kampung” seperti kebanyakan pendapat masyarakat sekarang ini. Jadi, asal mula kata hik bukanlah kata singkatan atau kepanjangan tetapi ‘suara beban’ dari mulut si penjual yang terbebani dengan beratnya beban yang akan dipikulnya saat awal mula si penjual ini hadir menjajakan dagangannya dengan cara dipikul.

Bisa semacam kata aba-aba persiapan apabila akan memulai mengangkat beban yang berat. Kata hik yang kebanyakan masyarakat menyebutnya, hidangan istimewa kampung, itu hanyalah kata kepanjangan hasil kreatif generasi muda sekarang agar terdengar lebih gaul dan keren atau kekinian.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: klatenkab.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler