Komunitas Lar Gangsir Melestarikan Keris Warisan Budaya Indonesia

9 Juli 2020, 09:18 WIB
Komunitas Lar Gangsir /Bagus Kurniawan

PORTAL JOGJA - Komunitas Lar Gangsir Jogjakarta merupakan salah satu komunitas dari berbagai profesi yang berusaha melestarikan keris sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Keris juga telah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda.

Meski baru berusia sekitar 2 tahun ini, kiprah komunitas sudah lumayan dalam mengenalkan keris dan tosan aji. Sebanyak dua kali ini menggelar pameran di kompleks Kraton Ratu Boko, Sleman bersama PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Persero) dan di Museum Sonobudoyo. Kemudian menggelar workshop soal keris dan penggunaannya dalam adat istiadat Jawa dan jamasan pusaka di Omah Kalang, Jln Tegalgendu pada tahun 2019.

Kegiatan terakhir sebelum pandemi Covid-19 juga menggelar diskusi terbatas soal Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang tersimpan di Belanda yang kemudian dibawa kembali ke Indonesia. Dalam diskusi itu juga menghadirkan sejarawan Prof Dr Sri Margana dari UGM yang turut melihat langsung proses pengembalian keris itu.

Baca Juga: 39 Tahun Donor Darah, Tangan Kanan Penuh Bekas Suntikan Jarum

"Komunitas Lar Gangsir berusaha melestarikan keris dan berbagai macam tosan aji sebagai warisan budaya yang sampai saat ini masih eksis di nusantara," ungkap Nilo Suseno, Ketua Lar Gangsir kepada portajogja.com di Omah Dhuwung Kopi di Cangkringan, Sleman.

Menurutnya masih banyak warga masyarakat yang menyimpan keris baik itu warisan dari keluarga terdahulu maupun masyarakat umum yang mulai mencintai keris dan tosan aji lainnya.

"Kami semua masih belajar, berdiskusi soal keris agar wawasan terus bertambah, kalau bukan kita sekarang siapa lagi yang mau melestarikannya, seni tempa logam yang usianya sudah berabad-abad," ungkapnya.

Baca Juga: Jelang Normal Baru, Istri Minta Cerai di Kulon Progo Meningkat

Ia menjelaskan anggota Lar Gangsir dari berbagai profesi seperti dosen, seniman, abdi dalem, pegawai negeri dan swasta dan lain-lain. Hampir semua anggota mempunyai berbagai macam pusaka yang menjadi koleksinya.

Aktivitas diskusi sempat berhenti beberapa saat akibat pandemi Covid-19 selama beberapa bulan. Namun tak menyurutkan semangat, diskusi kemudian dilakukan secara online.

"Baru akhir-akhir ini dilakukan pertemuan terbatas antar anggota. Kopi Omah Dhuwung ini bakal menjadi tempat bagi anggota komunitas untuk berdiskusi soal keris hingga pameran," ungkap Nilo yang juga dosen UGM itu.

Baca Juga: Berita Baik: Sleman Membaik, Seluruh DIY Masuk Zona Risiko Rendah Penularan Covid-19

Ia menjelaskan nama Lar Gangsir merupakan kependekan dari sengkalan ‘Laring Curiga Manjing Sarira’ yang merupakan candra sengkala tahun 1952 Jawa ( 2019 M). Ini merupakan tahun berdirinya organisasi ini.

Laring Curiga Manjing Sarira artinya penyatuan antara keris dengan manusia. Selain itu, Lar Gangsir juga merupakan salah satu nama pamor keris yang indah dan populer.

Motif pamor Lar Gangsir merupakan stilisasi dari sayap serangga Gangsir (sejenis jangkrik). Sayap gangsir ini punya motif yang indah dan berfungsi ganda, untuk terbang dan bersuara.

Baca Juga: Lima Tahap yang Bikin Sukses Bisnis Online Lewat Media Sosial

"Lar Gangsir mengandung perlambang kemampuan untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang tinggi, serta mampu berkiprah dan berkontribusi penting dalam usaha pelestarian dan pengembangan budaya keris di Indonesia" paparnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh anggota lainnya seperti Hedi Haryanto dan Timbul Waluyo. Komunitas ini anggotanya terbuka siapa saja dan dari berbagai kalangan.

"Diskusi bagi teman-teman Lar Gangsir bisa menambah wawasan dan pengetahuan soal perkerisan atau tosan aji lainnya. Tiap pertemuan antar anggota selalu membawa keris koleksi masing-masing untuk didiskusikan," ungkap Hedi.

Baca Juga: Jumputan Tahunan Mulai Menggeliat 

Menurutnya ada banyak nilai-nilai sejarah, arkeologis hingga teknologi dalam pembuatan tosan aji. Oleh karena itu berbagai hal itu selalu didiskusikan bersama agar mengetahuinya.

Timbul menambahkan saat diskusi yang dibahas berbagai hal seperti pamor, empu pembuat keris hingga tangguh atau perkiraan usia keris dan tosan aji. Apakah zaman Majapahit, Pajajaran, Segaluh, Tuban, Mataram Islam awal, zaman Keraton Surakarta, Yogyakarta atau era-era yang lebih tua yakni era Kabudhan.

"Kami ingin meningkatkan pengetahuan dan apresiasi masyarakat terhadap keris. Sebab keris itu selain hasil dari suatu budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi," pungkas Timbul. (****)

Editor: Bagus Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler