Bagaimana Puasa Umat Terdahulu, Apakah Persis Seperti Sekarang ?

- 30 Maret 2023, 04:21 WIB
Ilustrasi puasa
Ilustrasi puasa /Pixabay/Chiplanay.

PORTAL JOGJA- Mungkin sering mendengar bahwa puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat Rasulullah Saw. Umat-umat terdahulu pun juga diwajibkan berpuasa. Banyak yang penasaran bagaimana puasanya umat terdahulu? Apakah puasa mereka persis seperti sekarang?

Benar sekali bahwa kewajiban puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat Rasulullah Saw. Umat-umat terdahulu pun sudah diperintahkan berpuasa, sebagaimana bunyi penghujung ayat perintah puasa, “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS. al-Baqarah 2:183).”

Menurut para ulama tafsir, puasa mereka seperti yang disunahkan Rasulullah Saw kepada umatnya, seperti puasa Asyura, puasa Ayyamul-Bidh, dan puasa Daud.

Baca Juga: Kampung Sayidan Yogyakarta: Kampung Arab Tanpa Orang Arab

Bahkan, menurut ath-Thabari, “Maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka juga diwajibkan berpuasa Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur (dari waktu isya hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri. Tradisi Nasrani itu juga masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais Ibn Shirmah dan Umar Ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri, hingga waktu fajar.”

Dengan kata lain, pada awal-awal pensyariatannya, waktu, praktik, dan tata cara puasa umat Islam tidak seperti yang kita lakukan sekarang, yaitu menahan segala yang membatalkan dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari.

Benar seperti yang disinggung ath-Thabari, walau makan, minum, dan hubungan suami-istri pada malam hari diperbolehkan, tetapi dengan beberapa catatan, yaitu orang yang akan melakukannya belum tidur dengan niat berpuasa esok harinya dan juga belum salat Isya. Artinya, jika sudah tidur atau sesudah salat Isya, ia tidak boleh makan, minum, atau hubungan suami-istri di sisa malam tersebut, hingga menjalani ibadah puasa pada hari berikutnya dan berbuka pada waktu magrib.

Ketentuan ini seperti yang ditunjukkan dalam riwayat al-Bara Ibn Azib. Ia menuturkan, “Jika salah seorang sahabat berpuasa dan datang waktu berbuka, namun ia belum berbuka karena tidur, maka ia tidak lagi boleh makan dan minum pada malam itu hingga siang hari berikutnya dan berbuka di sore hari (HR. al-Bukhari).”

Ketentuan puasa yang diungkap hadits al-Bara ini tak pelak memberatkan para sahabat, sehingga banyak di antara mereka yang tak mampu menahan diri, dan akhirnya menjadi asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat Al-Quran yang meringankan mereka makan, minum, berhubungan suami-istri pada malam hari, baik sebelum mereka tidur atau setelahnya, baik sebelum mereka salat Isya atau setelahnya.

Beberapa kejadian yang mengantarkan turunnya ayat dimaksud antara lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah Ibn Ka‘b Ibn Malik dari ayahnya. Malik mengisahkan, “Orang-orang di bulan Ramadan, jika seseorang mereka berpuasa, kemudian di sore hari ia tidak sempat berbuka karena tidur, maka haram baginya makanan, minuman, dan bergaul dengan istri, hingga berbuka esok harinya.”

Disebutkan, pada suatu malam, Sayyidina Umar Ibn al-Khathab berada di tempat Rasulullah Saw serta pulang ke rumah cukup malam dan mendapati istrinya sudah terlelap tidur. Rupanya saat itu, Sayyidina Umar ingin bergaul bersama istrinya. Namun, ditolak oleh istrinya, “Aku sudah tidur!” Ia berkata, “Kau sudah tidur?” Meski demikian, malam itu ia tetap bergaul dengan istrinya.

Keesokan paginya, Sayyidina Umar kembali menemui Rasulullah Saw dan mengabarkan kejadiannya semalam. Maka Allah Swt menurunkan ayat:

Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah [2] 187).”

Baca Juga: FIFA Resmi Batalkan Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 2023

Riwayat lain menyebutkan menyebutkan bahwa Qais Ibn Shirmah al-Anshari berpuasa. Pada saat berbuka, ia bertanya kepada istrinya, “Apakah kau punya makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak! Tapi aku akan mencarikannya untukmu.” Rupanya, karena siang hari itu Qais Ibn Shirmah lelah bekerja, matanya tak mampu menahan kantuk. Begitu pulang dan mendapati suaminya sudah tidur, istri Qais berkata, “Celakalah engkau!” Esoknya, Qais tetap berpuasa. Namun pada tengah hari, ia pingsan tak sadarkan diri. Kejadian itu pun disampaikan kepada Rasulullah Saw.

Sejak itu, ditetapkanlah pensyariatan puasa dengan tata cara seperti sekarang ini, yakni menjauhi segala yang membatalkan, baik makan, minum, maupun bergaul suami-istri, sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari. Sedangkan pada malam hari, semua itu diperbolehkan, tanpa ada syarat: setelah atau sebelum tidur, setelah atau sebelum salat Isya.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: kemenag.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x