Kampung Pasar Kliwon: Dari Bandar Semanggi Menjadi Kampung Arab Terpadat di Kota Solo

3 April 2023, 09:41 WIB
Taman Bandar Semanggi dengan bangunan berbentuk kapal didirikan sebagai pengingat sejarah bahwa wilayah Semanggi Solo yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo pernah ada pelabuhan atau bandar. /FB Kota Solo /

PORTAL JOGJA - Kampung Pasar Kliwon di Kota Solo, tepatnya sepanjang Jalan Kapten Mulyadi, merupakan daerah di mana sangat lekat dengan atmosfer masyarakat yang religius. Karena mayoritas di kampung ini masyarakat keturunan Arab, sehingga terdapat dialek atau bahasa Arab khas medok pasarkliwonan.

Dialek medok Arab tersebut, terdengar unik, khas, dan menjadi identitas bagi masyarakat keturunan Arab yang ada di Kota Solo. Bahkan beberapa penelitian tentang dialek maupun kesetiaan bahasa Arab di daerah ini, mampu menjadi daya tarik bagi peneliti bahasa di ranah akademis.

Selain di bulan Ramadan, Pasar Kliwon punya magnet istimewa bagi pengunjung atau wisatawan. Wisata religi di Pasar Kliwon ini terbesar saat adanya haul Solo. Acara ini sangat besar menarik pengunjung. Bahkan Pemkot Solo menjadikan acara ini sebagai agenda.

Baca Juga: Sejarah Musik Gambus Cikal Bakal Musik Dangdut Indonesia 

Haul Solo adalah acara tahunan, mengenang jasa dan pemikiran salah seorang figur di Pasar Kliwon, yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Beliau adalah seorang pengarang Kitab Maulid Simtud Duror. Acara ini berlangsung selama tiga hari setiap 20 Rabiul Tsani. Ribuan pengunjung dari berbagai kota, provinsi, pulau, bahkan negara turut hadir untuk menghadiri acara ini.

Kampung Pasar Kliwon, hampir sama dengan kampung Arab di berbagai kota lainnya, ada musik gambus dan tarian hajir marawis (zapin). Musik gambus di area Pasar Kliwon biasanya dihelat di berbagai acara pernikahan. Begitu juga tarian hajir marawis.

Meski haul Solo juga terdapat hiburan ini, namun di beberapa acara hajatan lain juga ada pertunjukan tarian ini. Tentu saja, atmosfir dan suasana Timur Tengah akan terasa jelas di saat dendang, ritme, hentak dan nyanyian hajir marawis serta gambus disenandungkan.

Pasar Kliwon dahulunya merupakan tempat penjualan kambing yang diadakan setiap hari pasaran kliwon, yang merupakan tempat tinggal khusus bagi orang-orang Arab di zaman penjajahan Belanda.

Melalui kebijakan wijken stelsel, orang Arab dikategorikan penduduk Timur Asing dalam struktur masyarakat kolonial. Masyarakat tersebut diwajibkan tinggal di suatu tempat khusus yang telah ditentukan dan dipimpin oleh seorang Kapiten. Hal itu bertujuan agar mereka mudah diawasi oleh Pemerintah Hindia Belanda yang takut terhadap Islam dan keturunan Arab.

Di Kampung Pasar Kliwon, terdapat rumah sakit umum swasta. Menurut sejarah, tanah untuk bangunan rumah sakit tersebut merupakan hadiah dari Sri Susuhunan Paku Buwono X kepada seorang keturunan Arab yang pernah menjadi guru mengaji dan menyembuhkan sakit putri Sunan yang bernama Kustati. Untuk mengenang jasa Sunan terutama putrinya yang sembuh dari sakit, maka rumah sakit itu diberi nama Kustati.

Wilayah ini juga terdapat sebuah sumber mata air yang dinamakan Kedhung Pengantin. Sumber mata air ini mempunyai fungsi yang sangat penting bagi penduduk setempat, sebagai salah satu syarat kelengkapan ritual upacara pernikahan.

Selain menjadi nama kelurahan, Pasar Kliwon juga menjadi nama Kecamatan dengan wilayah meliputi, Kelurahan Batangan, Pasar Kliwon, Kedunglumbu, Semanggi, Gajahan, Kauman, Joyosuran, Sangkrah, Lojiwetan dan Gading.

Berdasarkan Surat Keputusan Pepatih Dalem Keraton Kasunanan Surakarta, tertanggal 18 September 1939, No 18/5C/5/I. Kelurahan Gading dimasukkan ke dalam wilayah Kelurahan Semanggi, sehingga tinggal sembilan kelurahan. Lojiwurung termasuk dalam Kelurahan Sangkrah. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Lojiwurung kemudian oleh Pemkot Surakarta diganti namanya menjadi Kampung Baru.

Kampung Semanggi inilah yang paling ramai penduduk keturunan Arab di Kecamatan Pasar Kliwon. Banyak ditemui masjid dan majelis pengajian. Semanggi bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, ditandai dengan adanya Sungai Bengawan Solo.

Nama Semanggi didapat dari tanaman Semanggi (Marsilea drummondii), karena dulu banyak terdapat tanaman ini di Semanggi bagian Timur atau yang berdekatan dengan Sungai Bengawan Solo.

Baca Juga: Duta Genre Tingkat Kelurahan Dikukuhkan, Kampanyekan Kesehatan Reproduksi dan Cegah Pernikahan Dini

Asal muasal nama Kampung Semanggi, diambil dari nama tumbuhan air, yaitu Semanggi (hydrocotyle sibthorpioides lam). Bisa dinamakan demikian karena dari sejarahnya, kelurahan yang ada di daerah pinggiran Sungai Bengawan Solo ini, merupakan rawa-rawa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang banyak ditumbuhi tanaman semanggi, sebelum nama Bengawan Solo ada, maka nama Bengawan Semanggi inilah yang banyak ditulis di naskah-naskah kuno.

Nama Semanggi ini juga merupakan nama lain untuk bandar pada masa Mataram Kuno yang disebut Waluyu. Dalam Prasasti Canggu disebutkan bahwa di Bengawan Semanggi terdapat 44 desa penambangan atau bandar. Dalam naskah Sunda Bujangga Manik disebutkan sebagai Ci Waluyu. Sejak abad 18 merupakan bandar besar di hulu Sungai Bengawan Semanggi.

Para Bupati Madura ketika berkunjung ke Kasunanan Kartasura (1680-1742) juga berlabuh di Bandar Semanggi. Begitu juga para prajurit dari Madura mendirikan barak-barak di tepian bandar, yang kemudian dinamakan Kampung Sampangan yang sekarang berada di sebelah Utara Kampung Semanggi.

Ketika akan terjadi perpindahan Keraton Kasunanan Kartasura ke Desa Sala, yang kemudian diubah namanya menjadi Kasunanan Surakarta. Penduduk desa tersebut banyak yang direlokasikan di kawasan Semanggi dan Baturana.

Bengawan Semanggi juga berperan penting sebagai jalur pelarian ke Surabaya oleh pemberontak dari Pajang terhadap pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Saat Sultan Agung berkuasa, Bupati Pajang Tumenggung Tambakbaya memberontak. Ketika kalah dia melarikan diri melalui Bengawan Semanggi menuju Surabaya.

Bengawan Semanggi, pada masa Paku Buwono IV, V, VII, memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai daerah pinggiran, dahulu kampung ini dijadikan sebagai dermaga bagi para bandar yang berlabuh. Sehingga nampak suasana geliat yang ramai dalam perniagaan, sosial dan politik, antara daerah pedalaman dengan daerah maritim.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: surakarta.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler