Singapura Dikejutkan Rencana Penyerangan Masjid dan Sinagoge Dalam 4 Bulan Terakhir, Pelaku Berusia 16 dan 20

12 Maret 2021, 12:09 WIB
singapura/Aishah Rahman/Unsplash /

PORTAL JOGJA - Dalam 4 bulan terakhir, Singapura menahan dua pelaku rencana penyerangan terhadap rumah ibadah dengan acuan Internal Security Act(ISA) atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura. Satu pelaku berusia 16 tahun berencana menyerang 2 masjid, dan pelaku lainnya yang berusia 20 tahun berencana untuk menyerang sinagoge, tempat ibadah Yahudi.

Departemen Keamanan Dalam Negeri Singapura (ISD), dalam siaran pers Rabu, 10 Maret 2021, menyatakan bahwa seorang laki-laki warga negara Singapura berusia 20 tahun telah ditangkap pada 5 Februari lalu ketika ia masih menjadi anggota NFS atau wajib militer Singapura.

ISD mengatakan bahwa Amirull Ali, nama pelaku tersebut, telah merencanakan untuk menyerang Sinagoge Maghain Aboth setelah Doa Berjamaah Yahudi dengan tujuan membunuh tiga pria Yahudi.

"Dia menargetkan laki-laki, dengan asumsi bahwa mereka akan melayani layanan nasional di Israel dan karenanya melakukan kekejaman terhadap Palestina," kata ISD.

Baca Juga: Transgender Dilarang Ikut Pertandingan Olahraga di Mississippi, Ketua Kesetaraan Gender: Ini Tidak Adil

Menurut ISD, Ali dianggap meradikalisasi dirinya sendiri dengan kebencian yang mendalam terhadap Israel, setelah diyakinkan bahwa Palestina ditindas dalam konflik Israel-Palestina. Meskipun telah ditangkap pada 5 Februari 2021, perintah penangkapannya di bawah undang-undang keamanan Singapura atau ISA, baru dikeluarkan Jumat, 5 Maret 2021 lalu.

Ketertarikan Ali dalam konflik Israel-Palestina dimulai sekitar tahun 2014 setelah menonton video yang menunjukkan warga sipil Palestina dibom oleh jet tempur Israel.

"Penelitian online berikutnya tentang konflik Israel-Palestina meyakinkannya bahwa Israel menindas Palestina dan juga memperdalam kebenciannya terhadap Israel," kata ISD.

Ali juga mulai mendukung sayap militer HAMAS, Izz ad-Din al-Qassam Brigades (AQB) setelah membaca buku mengenai perjuangan kelompok itu untuk hak-hak Palestina pada 2015 atau sekitar ia berusia 15 tahun.

Baca Juga: Tips dan Trik Menjaga Kesehatan Jantung, Salah Satunya Istirahat yang Cukup

Pada Juli 2019, Ali menonton film dokumenter Channel News Asia tentang komunitas Yahudi di Singapura dan sangat marah karena orang Yahudi di Singapura berkembang dengan damai sementara orang Palestina menderita di luar negeri.

“Saat itulah dia memutuskan untuk menyerang orang Yahudi di sinagoge,” kata ISD.

Antara Agustus dan awal Oktober 2019, Ali melakukan setidaknya dua perjalanan pengintaian ke sinagoge dan mengidentifikasi tempat untuk menyergap para korbannya saat mereka keluar dari tempat ibadah tersebut.

Kebencian itu bertambah ketika Desember tahun 2020, Ali menonton video online tentang pembunuhan seorang pria Palestina autis dan tidak bersenjata oleh pasukan Israel, kata ISD.

Ali memutuskan untuk melakukan penyerangan menggunakan pisau Smith dan Wesson yang aslinya ia beli pada tahun 2016 untuk kegiatan kepanduan.

“Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan itu, dia mengunduh gambar dari sistem pembuluh darah manusia. Ia mengidentifikasi bagian tengah sebagai tempat terbaik untuk menikam korban, untuk menyebabkan kematian yang cepat karena pendarahan hebat,” kata ISD.

Rencana Penyerangan Terhadap Dua Masjid

Kasus rencana penyerangan terhadap rumah ibadah ini sebenarnya adalah kasus kedua yang dilaporkan awal tahun 2021 ini. Keduanya melibatkan anak muda yang ditahan berdasarkan undang-undang keamanan dalam negeri, ISA.

Seorang anak laki-laki Singapura berusia 16 tahun ditahan pada bulan Desember 2020 setelah membuat rencana rinci dan persiapan untuk melakukan serangan teroris terhadap Muslim, kata pihak berwenang pada 27 Januari 2021 lalu.

Remaja ini berencana menggunakan parang untuk menyerang umat Islam di dua masjid di daerah Woodlands pada 15 Maret 2021, sebagai peringatan atas serangan masjid di wilayah Christchurch, di Selandia Baru.

Remaja yang tidak disebutkan namanya itu adalah seorang Kristen Protestan dari etnis India. “Dia adalah orang termuda yang ditangani di bawah ISA untuk kegiatan terkait terorisme,” ujar ISD.

Remaja tersebut meradikalisasi diri, dimotivasi oleh antipati yang kuat terhadap Islam dan ketertarikannya pada kekerasan.

“Dia menonton video siaran langsung serangan teroris di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019, dan membaca manifesto penyerang Christchurch, Brenton Tarrant,” ujar ISD.

Selain itu, remaja 16 tahun ini juga telah menonton video propaganda Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) dan sampai pada kesimpulan yang salah bahwa ISIS mewakili Islam.

Dari video propaganda itu, dia juga mengambil kesimpulan bahwa Islam meminta pengikutnya untuk membunuh orang yang tidak beriman.

Dia memilih Masjid Assyafaah dan Masjid Yusof Ishak sebagai target karena kedua masjid tersebut berada di dekat rumahnya. Remaja yang tidak disebut namanya karena masih berada di bawah umur ini melakukan pengintaian dan penelitian online menggunakan Google Maps dan Street View di kedua masjid tersebut untuk mempersiapkan serangan.

Untuk mempersiapkan diri menyerang jamaah kedua masjid tersebut, remaja itu menonton video YouTube, dan yakin dapat mengenai arteri targetnya dengan menebas secara acak di area leher dan dada mereka.

Dia berencana menabung dan membeli parang Smith & Wesson seharga 190 Dolar Singapura atau sekitar Rp2 juta. Setelah itu dia juga berencana mencuri kartu kredit ayahnya untuk menyewa kendaraan yang akan mengantarnya antara Masjid Assyafaah dan Masjid Yusof Ishak dengan cepat, seperti yang dilakukan teroris Selandia baru, 2 tahun silam.

Awalnya, sebelum merencanakan serangan dengan menggunakan parang, remaja ini sempat mencoba membeli senjata api, seperti yang digunakan teroris Selandia Baru tersebut, namun untungnya undang undang kontrol senjata api di Singapura membuatnya mengurungkan niat menggunakan senjata api.

“Dia juga sempat mempertimbangkan untuk membuat bom triacetone triperoxide (TATP) dan membakar masjid menggunakan bensin. Meskipun akhirnya ia membatalkan ide senjata api dan bom tersebut” ujar ISD.

ISD juga menyatakan pada rilisnya bahwa remaja itu telah menyiapkan dua dokumen yang ingin dia sebarkan sebelum serangannya.

Yang pertama adalah pesan kepada orang Perancis, yang dia susun setelah serangan terhadap umat Kristen di sebuah gereja di Nice pada Oktober tahun lalu.

Dalam pesan tersebut, dia menyerukan kepada rakyat Prancis untuk membela apa yang benar dan mengklaim bahwa kami tidak dapat membiarkan mereka (Muslim) bersembunyi di semak-semak kami dan menunggu mereka untuk menyerang.

“Aspek anti-Muslim dari ideologi beresonansi dengan remaja ini,” tambah ISD.

Remaja itu yakin bahwa serangan Muslim terhadap orang Kristen akan terjadi cepat atau lambat. Saat itulah dia memulai rencana rinci untuk serangannya.

Dokumen kedua yang belum selesai ketika dia ditangkap, adalah manifesto yang merinci kebenciannya terhadap Islam dan keyakinannya bahwa kekerasan tidak boleh diselesaikan dengan damai". Dokumen tersebut juga menyebut teroris sebagai orang suci, kata ISD.

“Dia mengakui selama penyelidikan bahwa dia hanya bisa meramalkan dua hasil dari rencananya, bahwa dia ditangkap sebelum dia dapat melakukan serangan, atau dia menjalankan rencananya dan kemudian dibunuh oleh polisi,” kata ISD.

Berbicara kepada wartawan, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K Shanmugam mengatakan cukup mengerikan mendengar remaja itu mengatakan hal ini kepada petugas ISD.

“Dia masuk dengan persiapan penuh, tahu bahwa dia akan mati, dan dia siap untuk mati,” ujar Shanmugam.

Menurut ISD, investigasi mereka sejauh ini menunjukkan bahwa pemuda tersebut telah bertindak sendiri, tanpa indikasi bahwa ia mencoba mempengaruhi siapa pun dengan pandangan ekstrimnya atau melibatkan orang lain dalam rencana serangannya.

"Keluarga dekatnya dan orang lain di lingkaran sosialnya tidak mengetahui rencana serangannya dan kedalaman kebenciannya terhadap Islam," kata ISD.

Kasus ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan bagi Singapura. Jika serangan itu berhasil, kemungkinan akan memicu ketakutan dan konflik antara kelompok ras dan agama yang berbeda.

“Jika seseorang pada suatu hari memutuskan bahwa dia akan menyerang masjid, atau gereja atau kuil, undang-undang pengendalian senjata kami dapat memprediksinya. Tapi membawa pisau dan memutuskan ingin melakukan sesuatu? Tidak akan mudah untuk mencegahnya setiap saat,” ujar politisi berdarah Tamil ini.

Singapura memilih pendekatan rehabilitasi pada pelaku rencana penyerangan terhadap target yang berbasiskan agama. Ini melibatkan proses konseling psikologis dan peranan pemuka agama untuk meluruskan pandangan dari perilaku radikal.

"Ketika melibatkan Muslim yang menyerang Kristen atau Kristen yang menyerang Muslim, pandangan saya sendiri adalah bahwa proses pengadilan semakin mengobarkan semangat mereka untuk berbuat radikal. Melalui Internal Security Act, kami dapat bergerak lebih cepat, mencegah kejadian serta menghentikan ide radikalisme sejak awal,” ujar Shanmugam

Para pelakuu ini akan diberikan konseling psikologis untuk mengatasi kecenderungannya terhadap kekerasan dan kerentanannya terhadap pengaruh radikal.

Pendekatan rehabilitasi ini berlaku bagi siapapun, Muslim atau Kristen yang terindikasi radikal.

“Harapan kami adalah meminta para pemimpin agama berbicara dengan bocah ini, dan semoga membuatnya mengerti bahwa ini bukanlah tentang Kekristenan, dan bahwa dia telah menempuh jalan yang bertentangan dengan masyarakat. Kami berharap dia akan mengerti itu," ujar Shanmugam.

"Begitu juga dengan Muslim yang kami jemput, kami berbicara dengan para pemimpin agama dan menasihati mereka. Itulah mengapa kelompok rehabilitasi agama sangat membantu. Untungnya, banyak dari mereka telah memahami, meninggalkan kekerasan dan telah kembali ke masyarakat,” lanjut Shanmugam.

"Jadi, pendekatan yang kami ambil, menawarkan jalan yang lebih baik menuju rehabilitasi, dibandingkan memperlakukan dia seperti penjahat, menuntutnya, dan memenjarakannya," ujar Shanmugam.

Dengan rehabilitasi, harapannya setelah beberapa tahun, mereka ini dapat dibebaskan dari tempat rehabilitasi dan melanjutkan hidupnya.

ISD mengatakan kasus ini sekali lagi menunjukkan bahwa ide-ide ekstrem dapat bergema di antara orang Singapura sendiri, terlepas dari ras atau agama yang mereka percaya.

“Itu adalah ancaman bagi kita semua dan cara hidup kita. Kita harus tetap waspada terhadap tanda-tanda bahwa seseorang di sekitar kita mungkin telah menjadi radikal, sehingga kita dapat melakukan intervensi lebih awal untuk mencegah tragedi, " kata ISD.

ISD juga mengambil tindakan tegas terhadap setiap individu di Singapura yang mendukung, mempromosikan, melakukan atau membuat persiapan untuk melakukan kekerasan bersenjata, terlepas dari bagaimana mereka merasionalisasi kekerasan tersebut atau di mana itu terjadi.

“Dalam kasus Ali, dia ingin terlibat dalam kekerasan baik di dalam maupun luar negeri. Dia membuat rencana rinci dan persiapan untuk membunuh orang Yahudi di Singapura,” ujar ISD.

Jika kasus Ali tidak terdeteksi, dia mungkin akhirnya melaksanakan rencana serangannya di Singapura atau bepergian ke luar negeri untuk melakukan kekerasan bersenjata.

Penting bagi masyarakat untuk tetap waspada terhadap tanda-tanda radikalisasi di sekitar, sehingga dapat turun tangan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya tragedi,” ujar ISD.

Tanda-tanda ini termasuk konsumsi materi radikalisme, ekspresi mentalitas ‘kita versus mereka., atau minat bepergian ke luar negeri untuk berpartisipasi dalam konflik bersenjata.***

Editor: Andreas Desca Budi Gunawan

Sumber: Channel New Asia

Tags

Terkini

Terpopuler