Mengenang Mbah Maridjan Juru Kunci Gunung Merapi yang Digaji Rp5.600 Sebagai Abdi Dalem

17 Maret 2023, 05:30 WIB
Almarhum juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. /Youtube Agus Prasetyo Boyolali

PORTAL JOGJA - Nama aslinya Maridjan Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo. Nama belakang “Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo” adalah pemberian Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada 1982.

Mbah Maridjan mengaku lahir pada 1927 tapi tidak tahu persis tanggal dan bulan kelahirannya. Ia hanya diberitahu oleh orang tuannya lahir pada Rabu Pon di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejak lahir sampai tua dan selama hidupnya hanya bermukim di satu tempat, yaitu lereng Merapi. Sehingga secara emosional ia merasa menjadi bagian dari Gunung Merapi. Sedangkan secara kultural, ia yang gemar menjalankan laku prihatin dan tirakat percaya bahwa Gunung Merapi ada penguasa yang disebut bahureksa. Setiap kali Gunung Merapi bergejolak, ia maknai sebagai aktivitas para bahureksa itu.

Baca Juga: Rektor UGM Berdialog dengan Mahasiswa, Klarifikasi Isu Terkait Uang Pangkal 

Mbah Maridjan mempunyai seorang istri bernama Ponirah dan memiliki 10 orang anak dan lima diantaranya telah meninggal.

Sesepuh Dukuh Kinahrejo ini, sehari-hari mencari nafkah dengan mengolah ladang di Lereng Merapi, tidak lain hanyalah sosok wong ndeso yang sederhana, bersahaja, dan jauh dari kesan seorang tokoh. Karena itu, jauh sebelum April 2006, masyarakat tidak mengenal sosok Mbah Maridjan selain seorang lelaki tua yang rendah hati dan gemar bercanda.

Kerendahan hati dan kesederhanaan terus memantul dari penampilan dan sikapnya, saat ia telah termasyhur di mana-mana karena menjadi bintang iklan minuman energi yang disiarkan televisi nasional.

Mbah Maridjan adalah seorang muslim yang Jawa dan Jawa yang muslim. Karenanya itu tidak aneh jika ritual-ritual keagamaan yang dilakukannya dekat dengan tradisi Hindu Jawa. Namun, ia juga seorang muslim yang taat. Di ujung pekarangan rumahnya yang luas, ia membangun sebuah masjid kecil dengan gaya arsitektur Jawa.

Ia setiap hari menjalankan salat lima waktu di masjid tersebut dan hampir tak pernah absen menjadi imam pada saat menjalankan salat berjamaah. Selain itu, dalam organisasi keagamaan, Mbah Maridjan dipercaya menjabat sebagai Wakil Rois Syuriah MWC Nahdlatul Ulama Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman hingga akhir hayatnya.

Ayah Mbah Maridjan bernama Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo adalah abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan Juru Kunci Gunung Merapi. Setelah Surakso Hargo wafat pada 1982, Mbah Maridjan tidak hanya mewarisi jabatan ayahnya tersebut, tapi juga memakai nama Surakso Hargo yang arti harfiahnya yaitu menjaga gunung.

Sebelumnya, Mbah Maridjan pada 1970 telah diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Mas Penewu Surakso Hargo. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, ia diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Pada saat menjadi wakil juru kunci, ia sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di Puncak Gunung Merapi.

Setelah 13 tahun mengemban jabatan Mantri Juru Kunci, pangkat Mbah Maridjan dinaikan menjadi Mas Penewu Juru Kunci. Pengangkatan tersebut tertulis dalam Serat Kekancingan Keraton Yogyakarta yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono X pada 3 Maret 1995.

Dalam buku “Negeri Para Pemberani: Mbah Maridjan Gareng dari Gunung Merapi” karya Aguk Irawan MN yang terbit pada 2008. Disebutkan bahwa masa-masa awal menjadi abdi dalem Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan beroleh gaji sebesar Rp3.700,- per bulan. Sejak pangkatnya naik menjadi panewu, gajinya meningkat menjadi Rp5.600,- per bulan.

Mbah Maridjan yang gemar bercanda dengan bahasa plesetan khas Yogyakarta, selalu menyebut gajinya tersebut dengan “lima juta enam ratus ribu rupiah.” Gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, ia terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habis untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo.

Sebagai abdi dalem juru kunci, jika menghadapi situasi Gunung Merapi yang sedang ewuh atau aktif. Mbah Maridjan segera menghimbau masyarakat untuk memohon keselamatan kepada yang Maha Kuasa agar terhindar dari bahaya.

Ia memulainya dengan melakukan ritual tirakatan dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo sebanyak tiga putaran setiap malam. Pada saat itu, ia berpuasa secara Islam, diselingi dengan puasa mutih yakni hanya makan sekepal nasi atau singkong tanpa garam dan minum air tawar.

Selain itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa ketupat luar yang dipasang di atas pintu. Ketupat dari janur kuning itu bermakna simbolis agar warga yang memasang keluar dari bencana.

Ketupat diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, daun sirih lambang Gunung Merapi dan garam lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Secara supranatural, keduanya berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.

Kesetiaan, kewajiban, dan keberanian Mbah Maridjan sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Teruji dengan sempurna ketika pada 2006 Yogyakarta diguncang gempa hebat dan disusul Gunung Merapi mengeluarkan awan panas beracun. Mbah Maridjan yang merasa lebih tahu kondisi Merapi daripada sumber lain, bersikeras tidak mau turun, tapi justru malah naik ke puncak seorang diri selama dua hari dua malam di Paseban Srimanganti, salah satu lokasi ritual sesaji labuhan yang berjarak 2,5 km dari Puncak Merapi.

Baca Juga: Kain Tenun Bentenan Minahasa Sempat Menghilang Lebih dari 200 Tahun

Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, terulang lagi ketika pada 26 Oktober 2010, Gunung Merapi kembali meletus disertai awan panas setinggi 1,5 kilometer. Gulungan awan panas tersebut meluncur turun melewati kawasan tempat Mbah Maridjan bermukim.

Di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang bergegas hendak mengungsi sesuai anjuran Gubernur Sultan Hamengkubuwono X dan BMG. Mbah Maridjan tetap menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono IX yang telah wafat pada 1988. Ia lebih memilih berdiam diri di dalam rumahnya.

Namun, nahas, Mbah Maridjan malah meninggal dihempas awan panas yang meluluhlantakkan Dukuh Kinahrejo. Tim SAR menemukan jasad Mbah Maridjan pasca tiga hari erupsi bersama dengan 16 orang lainnya yang telah meninggal dunia. Kondisi korban yang ditemukan rata-rata mengalami luka bakar serius. Jenazah yang seperti sedang sujud tersebut dikonfirmasi sebagai jenazah Mbah Maridjan.

Pada 28 November 2010, jenazah Mbah Marijan dimakamkan di Pemakaman Umum Dukuh Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta.

Pada 29 November 2011, almarhum Mbah Maridjan mendapat Penghargaan Anugerah Budaya dari Pemerintahan Provinsi DIY dalam kategori pelestari adat dan tradisi. Pemberian penghargaan dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi DIY kepada ahli warisnya di Bangsal Kepatihan Kota Yogyakarta.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler