Kain Tenun Bentenan Minahasa Sempat Menghilang Lebih dari 200 Tahun

- 15 Maret 2023, 21:19 WIB
 Kain Bentenan yang berasal dari Tombulu, Minahasa, Sulawesi Utara.
Kain Bentenan yang berasal dari Tombulu, Minahasa, Sulawesi Utara. /museumnasional.or.id /

PORTAL JOGJA- Kain Tenun Bentenan Minahasa termasuk kain yang sakral dan langka. Dikatakan langka karena hanya digunakan oleh kalangan tertentu dan pada waktu tertentu.

Kain bentenan sejak dahulu merupakan pakaian para pemimpin adat (Tonaas) dan pemimpin agama (Walian) dalam berbagai upacara adat seperti upacara membangun rumah, menentukan masa tanam, sampai berperang.

Kain ini juga digunakan dalam berbagai upacara daur hidup sebagai kain pembungkus bayi yang baru lahir, bagian dari upacara pernikahan, juga pembungkus jenazah bagi kalangan tertentu. Dalam upacara tersebut, tonaas dan walian akan memohon perlindungan pada opo-opo (dewa) dengan membaca mantra khusus.

Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa kain ini terakhir ditenun di Daerah Ratah pada akhir abad ke-18. Kain bentenen bahkan sempat menghilang tidak diproduksi selama lebih dari 200 tahun. Tidak mengherankan apabila kain bentenan langka dan antik sampai saat ini karena jumlahnya tidak sampai sepuluh buah di dunia.

Baca Juga: Becak Siantar Asli: Ikon Transportasi Kota Pematangsiantar Buatan Inggris yang Diambang Kepunahan

Museum Nasional Indonesia Jakarta, menyimpan kain bentenan bermotif patola yang merupakan kain bentenan satu-satunya di dunia. Motif ka’iwu patola dipengaruhi oleh motif patola India. Hetty Nooy Palm, seorang peneliti Belanda, berpendapat bahwa kain bentenan jenis ini terakhir ditenun pada 1880.

Perjalanan untuk menghasilkan sehelai kain bentenan cukup panjang. Kain ini dibuat dengan teknik ikat yang rumit. Dimulai dari pemintalan benang, pengikatan dan pewarnaan benang, lalu penjemuran. Selanjutnya kain akan ditenun tanpa terputus sampai berbentuk silinder (sarung) dengan alat tenun tradisional yang sudah punah.

Dalam sebuah tulisan yang diulas dalam koran Tjahaja Siang terbitan 1880. Disebutkan bahwa sebelum menenun kain, penenun akan melantunkan lagu Ruata yang berarti Tuhan agar mereka dapat menghasilkan kain tenun yang indah.

Dahulu, sebenarnya kain ini bernama Pasolongan Rinegetan yang kemungkinan penamaan tersebut muncul karena kain yang ditenun berbentuk pasolongan (bundar seperti sarung dan tanpa sambungan/jahitan).

Selain sebagai sarung, kain ini dikenakan oleh para Tonaas dan Walian sebagai atasan dengan cara dilipat dua dan diberi lubang di tengah, sehingga mereka dapat memasukkan kepalanya yang disebut sumolong. Untuk lebih memperindah kain tenun tersebut, di bagian paling bawah kain digantung lonceng-lonceng kecil yang diberi nama Pasolongan Rinegetan.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: museumnasional.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x