6 Falsafah Jawa yang Jadi Pegangan Presiden Kedua Indonesia HM Soeharto

15 Oktober 2021, 06:15 WIB
. Museum dan Monumen Tetenger Jenderal Besar HM Soeharto di Kemusuk, Sedayu Bantul. 6 Falsafah Jawa yang Jadi Pegangan Presiden Kedua RI HM Soeharto, /Visitingjogja.com

PORTAL JOGJA – Presiden kedua Republik Indonesia, HM Soeharto dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai falsafah budaya Jawa.

Soeharto lahhir di Desa Kemusuk, Sedayu Bantul Provinsi DI Yogyakarta 8 Juni 1921.

Soeharto meninggal dunia tanggal 27 Januari 2008 di Jakarta dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar Jawa Tengah.

Soeharto selama karir pertamanya adalah seorang militer dan kemudian menjadi Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno.

Soeharto saat menjadi presiden mendapat penghargaan internasional berkat Swasembada Beras.

Baca Juga: Gua di Telaga Warna, Dulu Mantan Presiden Soeharto Pernah Bertapa Disini

Hal ini ditandai dengan medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden Soeharto.

Dunia internasional menyebut Soeharto "The Smiling General" yakni seorang jenderal yang selalu tersenyum.

Ada banyak falsafah Jawa yang dipegang Soeharto selama hidupnya. Beberapa falsafah Jawa itu kemudian dituangkan dalam buku berjudul Butir-Butir Budaya Jawa, ditulis Soeharto.

Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1987. Buku ini berisi ajaran-ajaran kehidupan.

Mbah Yadi selaku pakar spiritual Jawa juga membeberkan kehidupan mistis serta falsafah hidup dari presiden kedua Indonesia, yaitu Soeharto.

Baca Juga: 8 Kebiasaan Ini Bikin Rejeki Kurang Lancar, Segera Hindari Menurut Primbon Jawa

Selain itu penulis Arwan Tuti Artha juga menulis buku mengenai perjalanan spiritual keluarga Cendana baik Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.

Buku itu berjudul Bu Tien Wangsit Keprabon Soeharto tahun 2007. Buku ini juga mengulas banyak soal perjalanan spiritual Soeharto yang wangsit keprabon saat menjabat Presiden RI.

Mbah Yadi mengungkapkan Soeharto adalah salah satu tokoh dengan bakat spiritual tinggi. Beliau juga akhli laku tirakat.

Sebelum jadi presiden, Soeharto rajin puasa Senin-Kamis juga puasa weton Jawa. Sebab Soeharto menjunjung tinggi adat dan budaya Jawa.

Karena terbiasa melakukan laku tirakat, Soeharto punya daya spiritual yang tinggi. Itulah yang membuatnya bertahan selama 32 tahun sebagai presiden.

“Di samping pro dan kontra, kita harus menghormati beliau yang betul-betul memperjuangkan Indonesia,” jelas Mbah Yadi dikutip dari Youtube ESA Production.

Baca Juga: Informasi Layanan SIM Keliling di DIY Hari Ini Jumat 15 Oktober 2021, Cek Lokasi Lengkapnya

Selama masa kecil, Soeharto hidup dengan sederhana di wilayah pedesaan di Kemusuk Sedayu. Ia juga mempunyai saudara itri yakni Probosoetedjo dan Noto Soewito. Ibunya Ny Soekirah. Karir militernya sejak awal kemerdekaan juga cemerlang ketika memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Karena itu tidak heran Soeharto menggenggam falsafah kalau hidup harus selalu selaras dengan alam.

Makanya tidak heran di masa kepemimpinan Soeharto, kebijakan yang diunggulkan adalah ketahanan pangan.

Ketika itu banyak dibangun bendungan-bendungan untuk irigasi, kemudian bagaimana pertanian maju supaya bisa swasembada pangan.

Yang paling terpenting lagi, untuk mencapai kesuksesan beliau sebagai presiden selama 32 tahun, itu mempunyai prinsip serta falsafah Jawa yang dijadikan pedoman kehidupan.

Baca Juga: Ramalan Weton Sukses dan Kaya Raya di Usia Tua, Masa Kecil Susah, Menderita dari Primbon Jawa

Selain olah kebatinan Soeharto sangat kuat, beliau juga sangat kuat menjunjung dan merawat adat serta tradisi Jawa.

Apa saja prinsip falsafah Jawa yang selalu dijunjung presiden Soeharto? Berikut bocor Mbah Yadi:

1. Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh

Inilah falsafah Jawa yang dijunjung Seoharto. Pertama, orang itu jangan sampai merasa heran, kagetan dan jangan mentang-mentang atau ojo dumeh.

Inti dari ajaran Jawa kuno ini adalah mendidik kita agar menjadi sabar, tenang, dan menjadi tidak sombong dalam kehidupan sehari-hari.

2. Hormat kelawan gusti, guru, ratu, lan karo wong tuwa

Ini artinya presiden Soeharto sangat berbakti kepada Tuhan yang Maha Kuasa, para guru, para ratu, dan sangat menghormati orangtua.

Yang dimaksud ratu dalam falsafah ini adalah pemimpin bangsa-bangsa selain Indonesia dalam konteks hubungan global.

3. Sa-sa-sa (Sabar, Saleh, Sareh)

Yang artinya adalah sabar, saleh, dan sareh. Yakni sabar, selalu taat beragama, lalu selalu berbuat kebijaksanaan.

Prinsip falsafah Jawa ini sering diterapkan Soeharto. Dalam menghadapi situasi apa pun harus selalu sabar, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan selalu berperilaku arif.

4. Mikul dhuwur mandem jero

Artinya adalah menjunjung tinggi dan menanam dalam-dalam. Jadi ini adalah wujud bakti seorang anak kepada orang tuanya.

Seorang anak harus selalu menjaga nama baik kedua orangtua serta keluarganya.

Memendam dalam-dalam, artinya apabila orangtua punya kesalahan, maka harus dimaafkan. Jangan diungkit-ungkit.

Baca Juga: Wanita Kurang Baik Hidupnya Menurut Ilmu Titen Primbon Jawa, Berikut Ciri-cirinya

5. Sugih tanpa banda

Falsafah lengkapnya adalah ‘sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji-aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake’.

Kalau dijabarkan, orang kaya adalah orang yang selalu dalam keadaan ikhlas menerima apa yang sudah ada dengan syukur. Hidup yang kaya tanpa punya kekayaan dalam arti materi.

Digdaya tanpa aji-aji artinya kita mesti punya prinsip yang sangat kuat dalam menjalani kehidupan. Punya kekuatan tapi tanpa ajimat.

Ngelurug tanpa bala, artinya tidak menjadi kuat hanya karena bisa mengalahkan seseorang. Menundukkan orang lain tidak harus memakai kekuatan fisik atau mengerahkan banyak orang tapi bisa dengan prinsip yang kuat. Atau mengalahkan seseorang dengan cara bersikap satria datang sendiri tanpa membawa kawan atau pasukan.

Menang tanpa ngasorake, meskipun kelihatan kita menang tapi orang yang dikalahkan tidak merasa dikalahkan. Akhirnya terjadi hubungan yang baik dan damai di atas bumi manusia.

6. Adigang, Adigung dan Adiguna

Adigang, Adigung, Adiguna, Ojo Dumeh adalah ungkapan Jawa yang yang jadi pegangan Soeharto yakni mengajarkan kita agar tidak sombong dan tidak merehkan orang lain saat kita berkuasa, karena apa yang dimiliki dapat hilang sewaktu-waktu atau jangan semena-mena. ***

 

 

Editor: Bagus Kurniawan

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler