Mengenang Mbah Maridjan Juru Kunci Gunung Merapi yang Digaji Rp5.600 Sebagai Abdi Dalem

- 17 Maret 2023, 05:30 WIB
Almarhum juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan.
Almarhum juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. /Youtube Agus Prasetyo Boyolali

Sebelumnya, Mbah Maridjan pada 1970 telah diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Mas Penewu Surakso Hargo. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, ia diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Pada saat menjadi wakil juru kunci, ia sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di Puncak Gunung Merapi.

Setelah 13 tahun mengemban jabatan Mantri Juru Kunci, pangkat Mbah Maridjan dinaikan menjadi Mas Penewu Juru Kunci. Pengangkatan tersebut tertulis dalam Serat Kekancingan Keraton Yogyakarta yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono X pada 3 Maret 1995.

Dalam buku “Negeri Para Pemberani: Mbah Maridjan Gareng dari Gunung Merapi” karya Aguk Irawan MN yang terbit pada 2008. Disebutkan bahwa masa-masa awal menjadi abdi dalem Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan beroleh gaji sebesar Rp3.700,- per bulan. Sejak pangkatnya naik menjadi panewu, gajinya meningkat menjadi Rp5.600,- per bulan.

Mbah Maridjan yang gemar bercanda dengan bahasa plesetan khas Yogyakarta, selalu menyebut gajinya tersebut dengan “lima juta enam ratus ribu rupiah.” Gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, ia terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habis untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo.

Sebagai abdi dalem juru kunci, jika menghadapi situasi Gunung Merapi yang sedang ewuh atau aktif. Mbah Maridjan segera menghimbau masyarakat untuk memohon keselamatan kepada yang Maha Kuasa agar terhindar dari bahaya.

Ia memulainya dengan melakukan ritual tirakatan dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo sebanyak tiga putaran setiap malam. Pada saat itu, ia berpuasa secara Islam, diselingi dengan puasa mutih yakni hanya makan sekepal nasi atau singkong tanpa garam dan minum air tawar.

Selain itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa ketupat luar yang dipasang di atas pintu. Ketupat dari janur kuning itu bermakna simbolis agar warga yang memasang keluar dari bencana.

Ketupat diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, daun sirih lambang Gunung Merapi dan garam lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Secara supranatural, keduanya berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.

Kesetiaan, kewajiban, dan keberanian Mbah Maridjan sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Teruji dengan sempurna ketika pada 2006 Yogyakarta diguncang gempa hebat dan disusul Gunung Merapi mengeluarkan awan panas beracun. Mbah Maridjan yang merasa lebih tahu kondisi Merapi daripada sumber lain, bersikeras tidak mau turun, tapi justru malah naik ke puncak seorang diri selama dua hari dua malam di Paseban Srimanganti, salah satu lokasi ritual sesaji labuhan yang berjarak 2,5 km dari Puncak Merapi.

Baca Juga: Kain Tenun Bentenan Minahasa Sempat Menghilang Lebih dari 200 Tahun

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x