Sejarah Penetapan 10 November Sebagai Hari Pahlawan

10 November 2020, 08:20 WIB
Logo hari pahlawan 2020.*/Kemensos /

PORTAL JOGJA - Setiap 10 November Bangsa Indonesia  memperingati Hari Pahlawan. Dasar penetapan Hari Pahlawan adalah Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang ditandatangani oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir.Soekarno.

Penetapan tanggal 10 November tentu bukan tanpa alasan. Tanggal 10 November 1945 merupakan pertempuran antara arek-arek Surabaya dengan tentara Belanda. Perang ini menelan banyak korban jiwa pejuang yang tewas saat melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan sekutu.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia setelah berhasil menyatakan proklamasi kemerdekaan mengeluarkan maklumat pemerintah Indonesia. Maklumat itu menyatakan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Surabaya.

Baca Juga: Jadwal SIM Keliling di DIY Hari ini, Selasa 10 November 2020

Namun, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada 18 September 1945, justru mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Bendera Belanda itu dikibarkan di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato,  yang kemudian menyulut kemarahan para pemuda Surabaya.

Mereka menilai Belanda menghina kedaulatan Indonesia dan hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia. Aksi pengibaran bendera Belanda itu juga dinilai menghina gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Menanggapi kemarahan para pemuda, seorang pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Fuku Syuco Gunseikan pemerintah Dai Nippon Surabaya yang sekaligus Residen Daerah Surabaya Pemerintahan RI yaitu Residen Soedirman masuk ke Hotel Yamato untuk berunding dengan Mr Ploegman.

Baca Juga: Awan Panas atau Wedhus Gembel Gunung Merapi Belum Muncul Saat Siaga

Residen Soedirman dikawal dua pemuda yaitu Sidik dan Hariyono, meminta agar bendera Belanda segera diturunkan. Namun Ploegman menolak dan membuat perundingan berlangsung a lot. Puncaknya, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga. 

Insiden itu membuat para pemuda murka dan menyerbu masuk hotel, serta naik ke atas untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Dua hari kemudian, 29 Oktober 1945, pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris menandatangani gencatan senjata. Keadaan pun berangsur.

Baca Juga: Relawan Merapi yang Bertugas di Barak Pengungsi Harus Rapid Tes Antisipasi Penyebaran Covid-19

Saat tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Mallaby tiba di Surabaya, mereka melakukan aksi seremonial dengan berjalan ke berbagai sudut kota untuk melihat situasi. Akan tetapi, pada 30 Oktober 1945, perwira kerajaan Inggris itu tewas akibat mobil yang ditumpanginya hangus terbakar.  Terbunuhnya Mallaby itu pun memantik kemarahan dari tentara Sekutu.

Sekutu kemudian menunjuk Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh menjadi pengganti Mallaby. Tepat pada 9 November 1945, tentara sekutu mengeluarkan ultimatum kepada warga Surabaya.

Ultimatum itu berisi tuntutan agar warga Surabaya menyerahkan semua senjata kepada tentara Sekutu sebelum jam 06.00 pagi hari berikutnya, 10 November 1945 dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Baca Juga: Gunung Merapi Siaga, Guguran Material ke Barat, Magelang Jarak Luncur Sejauh 3 Kilometer

Ultimatum tersebut dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Para pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya kemudian mengadakan pertemuan dan memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya, serta mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran.

Baca Juga: Lionel Messi Tunjukkan Tajinya, Hancurkan Real Betis di Camp Nou

Dari sinilah, muncul semboyan "Merdeka atau Mati" dan Sumpah Pejuang Surabaya yang isinya adalah  sebagai berikut :

Tetap Merdeka!

Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!

— Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.  Salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang memimpin perlawanan adalah Bung Tomo, yang menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radionya.   

Baca Juga: Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tutup Sementara Objek Wisata Alam Saat Status Siaga   

Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain. Diantaranya KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.

Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu dan memakan ribuan korban jiwa di pihak Indonesia maupun pasukan Sekutu.

Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.***

Editor: Siti Baruni

Tags

Terkini

Terpopuler