15 Tahun Lumpur Lapindo, Peringatan Ahli Geologi: “Baru 15 Tahun, Bisa Sampai 40 Tahun!

30 Mei 2021, 09:48 WIB
Kondisi Lumpur Lapindo yang masih terus mengeluarkan lumpur panas dan berasap /Bagus Kurniawan/Instagram WisataSidoarjo

PORTAL JOGJA - Tak terasa 15 tahun berlalu dari saat Lumpur Lapindo pertama kali menyembur keluar dari lokasi pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur 29 Mei 2006 silam.

Kini semburan lumpur tersebut masih keluar.

Menurut Jefry Recky Pattiasina, Kepala Pusat Pengendalian Lumpur (PPLS) Sidoarjo, para ahli geologi memperkirakan bahwa aliran lumpur akan mengalir setidaknya selama 40 tahun.

Kejadian pertama kali keluarnya Lumpur Lapindo masih diingat dengan jelas oleh Muanisah, seorang penduduk setempat yang rumahnya berjarak 200 meter dari lokasi keluarnya Lumpur Lapindo di tengah sawah.

Pagi itu ketika hendak sarapan, Muanisah dan bayinya yang waktu itu baru berusia 40 hari mencium bau menyengat yang menyebabkan kesulitan bernapas.

Baca Juga: Chelsea Juara Liga Champions Tekuk Manchester City, Tuchel Sukses Hadang Ambisi Pep Guardiola

Baca Juga: Link Gratis Kumpulan Twibbon Hari Lahir Pancasila 2021 pada 1 Jun1, Desain Frame Foto Paling Menarik

“Dia menguap, terlihat tidak bisa bernapas. Saya takut terjadi sesuatu pada anak saya,” ujar Muanisah yang bergegas keluar rumah, namun bau menyengat tersebut tetap ada.

Khawatir dengan kondisi bayinya, Muanisah bergegas menaiki angkutan umum dan pergi ke rumah keluarga yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya.

Untungnya, kondisi sang bayi membaik. Di tempat itu, bau tidak lagi tercium. “Mereka (aparat) bilang ada kebocoran gas,” ujar Muanisah yang awalnya tidak mengetahui sama sekali bau apa itu kepada Channel News Asia dan dikutip Portaljogja.com.

Lumpur Lapindo yang menyembur keluar dari sawah tersebut terus keluar tanpa henti. Kini, 15 tahun kemudian, lumpur tersebut menutupi area lebih dari 650 hektar dan terus keluar tanpa menunjukkan tanda akan berhenti.

Baca Juga: Meteor Merapi Masih Ramai Diperbincangkan, Ini Kata LAPAN, Roy Suryo dan BPPTKG

Sejak saat itu, ribuan rumah, pabrik dan toko tenggelam dalam luapan lumpur. Baunya masih terus menyengat hingga kini.

“Bahkan sebelum adanya pandemi covid-19, saya sudah terbiasa memakai masker,” ujar Muanisah yang kini telah pindah ke sebuah rumah kontrakan yang berjarak lima kilometer dari lokasi awal.

Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS), Jefry Recky Pattiasina menyatakan bahwa menurut para ahli geologi, semburan lumpur yang juga banyak disebut sebagai Lumpur Sidoarjo ini dapat berlangsung hingga 40 tahun.

“Baru 15 tahun. Kalau drainase dan pelindung tanggul aman, maka aman,” ujar Jefry.

“Lumpur dari semburan itu menghasilkan sekitar 60.000 hingga 90.000 meter kubik per hari. Dan kami dapat mengalirkan sekitar 30 juta meter kubik per tahun ke sungai Porong, tetapi itu tidak cukup karena kami menghadapi banyak masalah,” ujarnya.

Pada puncaknya, lumpur yang dikeluarkan dari lokasi semburan setara dengan sekitar 25 kolam renang ukuran olimpiade setiap hari.

Bau yang dicium dari aliran lumpur tersebut diyakini berasal dari metana yang keluar bersamaan dengan lumpur. Metana adalah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Adriano Mazzini, seorang peneliti senior menyatakan pada bulan Februari 2021 bahwa dari data penelitiannya, aliran Lumpur Sidoarjo melepaskan 100.000 ton metana setiap tahun ke atmosfer.

Hitungan ini adalah emisi metana tertinggi yang pernah tercatat di dunia yang berasal dari satu lokasi. Selain bau, lumpur ini juga sangat panas. Pada saat keluarnya dulu, panas lumpur mencapai 100 derajat celcius, meski menurut penelitian tahun 2017 telah menurun menjadi 60 derajat celcius.

Baca Juga: Lesty Kejora Nyanyikan Lagu Bawa Aku ke Penghulu, Trending 1 di YouTube, Ini Liriknya

Tak ayal, kondisi panas ini juga memiliki efek terhadap lingkungan. Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika(BMKG) menunjukkan suhu rata-rata di Sidoarjo mengalami peningkatan kurang dari 1 derajat Celcius dalam 15 tahun terakhir.

Hal ini juga dirasakan warga setempat yang rumahnya ketika itu berjarak beberapa kilometer dari tempat kejadian.

“Aliran lumpur melepaskan panas, banjir juga lebih sering terjadi,” ujar Khudori yang rumahnya juga terkubur oleh Lumpur Lapindo, enam bulan setelah kejadian pertama 29 Mei 2006.

Namun, BMKG menyatakan tidak mengetahui apakah semburan lumpur merupakan faktor penguat yang mempercepat skala lokal perubahan iklim.

“Baunya terlalu menyengat, dan itu juga mempengaruhi air. Saya merasa gatal, airnya tercemar, kita tidak bisa meminumnya. Padahal kita bisa meminumnya sebelum ada aliran lumpur. Kalau mandi saya juga gatal-gatal. Dan baunya membuat saya sesak napas ” ujar pria yang akhirnya pindah menjauh dari lokasi tersebut.

“Saya masih bisa mencium baunya. Jangankan 1,5km, meski pada jarak 5km masih bisa tercium saat musim hujan,” ujar pria yang dulunya bekerja di sebuah pabrik yang kini telah tertimbun lumpur.

Selain Muanisah dan Khudori, semburan lumpur Sidoarjo telah mengganggu kehidupan sekitar 60.000 orang, yang tinggal di sekitarnya.

Mereka terpaksa mengungsi jauh atau beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan ini.

Meskipun telah 15 tahun berlalu, penyebab semburan lumpur tersebut masih menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan akademisi.

Ada yang menyebutkan bahwa semburan lumpur tersebut dipicu oleh gempa berkekuatan 6,3 skala Richter yang terjadi di Yogyakarta, sekitar 300km dari Sidoarjo, dua hari sebelumnya.

Namun masyarakat meyakini bahwa keluarnya aliran lumpur deras terjadi akibat pengeboran gas alam yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas milik konglomerat Aburizal Bakrie.

Menurut ahli gunung api dari Center of Earth Evolution and Dynamics (CEED) Universitas Oslo, Adriano Mazzini, aliran lumpur tersebut berkaitan dengan gunung api aktif Arjuno-Welirang yang berlokasi sekitar 20km dari Lapindo.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 30 Mei 2021: Mama Sarah Makin Cemas, Tak Mau Terseret Kasus Elsa Lagi, Papa Surya Curiga

Mazzini yang telah bolak balik meneliti semburan ini menyatakan dari sampel yang diambil dari Lumpur Lapindo dan gunung api aktif Arjuno-Welirang memiliki gas dan air yang sama.

Untuk memastikan bahwa semburan lumpur tidak terus-menerus meluap dan membanjiri lingkungan setempat, tanggul dan pipa telah dibangun untuk mengalirkan lumpur ke sungai Porong.

"Kami hanya takut pada musim hujan karena tanggul kami adalah bendungan dari tanah. Dibangun secara terburu-buru saat itu. Bagi kami orang teknis, tanggul teknis seharusnya tidak boleh seperti itu,” ujar Jefry.

Meskipun saat ini tinggi tanggul adalah 11 meter, dikhawatirkan terus meluapnya lumpur akan menjadi masalah.

“Kemungkinan besar tanggul tidak bisa lebih tinggi dari itu. Kami khawatir jika lebih tinggi akan runtuh karena daya dukungnya tidak kuat,” ujar Jeffry.

Sampai saat ini pemanfaatan Lumpur Lapindo masih sangat minim. Beberapa masyarakat memberanikan untuk mengolah lumpur menjadi bahan kerajinan seperti yang dilakukan Luido.co dengan pernak pernik hiasan dengan bahan baku Lumpur Lapindo.

Ada juga masyarakat sekitar yang memanfaatkan lokasi Lumpur Lapindo yang telah mengering dan mengeras sebagai spot foto yang instagramable, seperti yang dilakukan oleh Wisata Sidoarjo.

Cara lain memanfaatkan Lumpur Lapindo adalah memproduksi biomassa dari lumpur sebagai sumber energi alternatif terbarukan. Sayangnya, rencana ini terhambat akibat covid-19.

PPLS menyatakan ada rencana memanfaatkan lumpur menjadi baterai lithium, namun hingga saat ini masih dalam tahap pembatasan.

Sebelumnya, Departemen Pekerjaan Umum juga sudah mulai menggunakan bahan baku Lumpur Lapindo sebagai bahan campuran pembuat beton serta dengan pengolahan dapat membuat Lumpur Lapindo menjadi bahan bangunan lain seperti batu bata dan genteng. ***

 

Editor: Bagus Kurniawan

Sumber: CNA

Tags

Terkini

Terpopuler