Baca Juga: Demokrat dan AHY Tak Tinggal Diam dan Melawan Hadapi Pihak Luar yang Goyang Partai Lewat KLB
Undang-undang tahun 1905 itu memastikan kebebasan ekspresi publik dari campur tangan agama apa pun. Kini, laicite semakin banyak digunakan oleh politisi Perancis untuk mendiskriminasi populasi Muslim yang berkembang di negara itu.
Jajak pendapat Ifop menemukan bahwa 49 persen siswa tidak keberatan pejabat publik menunjukkan keyakinan agamanya, dan 57 persen mendukung orang tua yang mengenakan barang-barang keagamaan saat menemani siswa dalam perjalanan sekolah.
Kedua masalah tersebut telah menjadi sumber kontroversi di Perancis karena beberapa politisi berusaha melarang perempuan Muslim yang mengenakan jilbab untuk menghadiri perjalanan sekolah bersama anak-anak mereka.
Lembaga survei yang ada di berbagai kota besar di dunia seperti Shanghai, Hong Kong dan New York ini juga menemukan bahwa kaum yang lebih muda semakin berpikiran terbuka dan berselisih dengan generasi yang lebih tua.
Baca Juga: Gawat! Chef Farah Quinn Bakal Punya Pesaing Berat, Penuh Bakat dan Percaya Diri
Melihat survey Ifop tahun 2009, masih ada 58 persen responden yang menentang pemakaian jilbab di sekolah, hal yang 11 tahun kemudian berubah.
Kini, anak muda Perancis cenderung lebih menerima untuk melihat perempuan muslim yang memakai baju renang yang menutupi seluruh tubuh dan hanya menyisakan wajah dan telapak tangan yang tidak tertutup.
Pada pertanyaan mengenai hak untuk mendiskreditkan bila orang tersebut terlihat berbeda dengan masyarakat, lebih dari 52 siswa persen tidak percaya adanya hak seperti ini.
Berbeda dengan Macron dan partai politiknya yang bahkan memperjuangkan hak seperti itu di bawah prinsip kebebasan berbicara.