Pakar UGM: Fenomena Letusan Gunung Lumpur di Blora Bisa Terjadi Berulang-ulang

30 Agustus 2020, 18:48 WIB
Letusan gunung lumpur di Blora /(Dok. UGM/portaljogja.com_

PORTAL JOGJA - Letusan Gunung Lumpur Kesongo di Kabupaten Blora, Jawa Tengah adalah lazim terjado. Letusan seperti itu bisa terulang di masa datang.

Meski sering mengeluarkan letupan lumpur berskala kecil, dalam dua dekade tercatat beberapa kali Gunung Lumpur Kesongo meletup dalam skala besar. Seperti yang terjadi pada hari Kamis lalu.

Menurut warga letupan seperti itu juga sudah pernah terjadi sebelumnya yakni tahun 2009 dan 2013. Kandungan gas metan yang beracun di Gunung Lumpur Kesongo mencapai 78 persen mol dengan lumpur yang dominasi oleh lempung jenis illit dan kaolinit.

Baca Juga: KSAD Jenderal Andika Meminta Maaf Atas Insiden Penyerangan di Polsek Ciracas

Pakar teknik geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Salahuddin Husein, Ph.D mengungkapkan kemunculan bagian tengah Pulau Jawa bagian timur berupa gunung lumpur adalah fenomena yang jamak.

Gunung Lumpur Kesongo hanyalah bagian dari Kompleks Gunung Lumpur Kradenan, dengan puluhan gunung lumpur lain muncul pada area yang lebih luas, seperti Kuwu, Medang, Crewek, Cangkingandan Banjar Lor. Ke arah timur ada gunung lumpur lain seperti Denanyar, Gresik, Dawar Blandong, Penganson, Sidoardo (Lusi), Porong, Gunung Anyar, Kali Anyar, Pulungan, hingga ditemukan di dasar Selat Madura.

"Gunung lumpur atau mud volcanoes adalah fenomena lazim pada cekungan sedimentasi yang mengalami pengendapan secara cepat dan pada daerah yang secara tektonik aktif," ungkap dia dalam rilisnya.

Dengan menggunakan data seismik eksplorasi migas, kata Salahuddin, terhitung laju pengendapan Formasi Tawun yang kaya kandungan lumpur mencapai 700 meter per juta tahun. Ini merupakan nilai paling tinggi untuk kawasan sekitar. Demikian pula dengan deformasi tektonik yang dialami formasi tersebut yang mencapai rasio regangan 0,7, juga merupakan angka tertinggi di kawasan tersebut.

"Meski gempa bumi besar jarang terjadi, tercatat beberapa gempa bumi kecil (skala intensitas ≤ 3) pernah terjadi menyebar beberapa tahun silam," katanya.

Menurut dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik itu, daerah utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur merupakan rangkaian perbukitan yang diberi nama Zona Rembang, atau sering disebut sebagai Zona Perbukitan Kapur Utara.

Baca Juga: Kebakaran di Surabaya, 5 Orang Tewas Akibat Tak Bisa Keluar

Karena banyaknya perlapisan batu gamping/batu kapur di kawasan tersebut. Zona Rembang ini dibagi dua, Perbukitan Rembang Utara dan Perbukitan Rembang Selatan, dan permukaan keduanya dipisahkan oleh lembah Sungai Lusi, sedangkan di bawah permukaan keduanya dibangun oleh beberapa patahan anjak yang mengangkat perlapisan batuan lebih tinggi daripada sekitarnya.

Gunung Lumpur Kesongo sendiri terletak di Zona Perbukitan Rembang Selatan, pada puncak struktur antiklin Gabus. Tekanan kompresif dari patahan-patahan anjak tersebut memengaruhi kekuatan batuan di sekitarnya.

"Terlebih bagi lapisan-lapisan lumpur yang masih lunak dan belum membatu di Formasi Tawun," paparnya.

Salahuddin menjelaskan munculnya lumpur ke permukaan, menyebabkan kekosongan pada rongga yang semula dilaluinya, sehingga permukaan di sekitar kemunculan gunung lumpur tersebut akan amblas, turun membentuk depresi melingkar (depresi kaldera). Semakin besar volume lumpur yang keluar, semakin besar pula area amblasannya.

"Gunung Lumpur Kesongo memiliki depresi amblasan yang paling besar dibandingkan gunung-gunung lumpur lain di Kompleks Kradenan, dengan diameter 1,3 km dan menempati area 135 hektare. Aktifitas semburan lumpur menyebabkan tidak ada pepohon yang mampu tumbuh di dalam depresi kaldera Kesongo, hanya rerumputan dan semak belukar saja yang mendominasi sehingga masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Oro-oro Kesongo, tempat yang banyak rumput untuk menggembalakan ternak," terangnya.

Tidak diketahui sejak kapan salsa tersebut aktif, namun dinamikanya dapat dicermati. Dari serangkaian citra satelit dalam 20 tahun terakhir, tampak dinamika grifon di dalam salsa tersebut, yang mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya.

"Awalnya grifon berada di sisi barat laut salsa, dimana setelah letusan besar 2009 semakin membesar, dan ketika letusan besar 2013 grifon aktif pindah ke sisi timur salsa. Kemudian semenjak 2016 titik grifon menempati letaknya saat ini, yaitu di sisi selatan salsa," ucapnya.

Fenomena ini, menurutnya, bisa berulang di masa akan datang. Sebab, jika melihat proses alam selalu akan berulang, bila material masih tersedia dan perpindahan energinya masih sama. Apalagi mengingat jumlah lumpur di Formasi Tawun di bawah sana masih berlimpah, dengan kondisi tektonik yang sama, tentu letusan besar berikutnya akan terjadi.

"Yang terpenting adalah mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur adalah kesamaan dengan proses vulkanisme gunung berapi, yang berbeda hanyalah material dan energinya," tuturnya.

Baca Juga: Kementan Mencabut Keputusan Ganja Jadi Tanaman Obat
Menurutnya semakin bertambahnya aktifitas masyarakat di sekitar kawasan Gunung Lumpur Kesongo (dan gunung-gunung lumpur lain) seperti petani, peladang, penggembala, dan penambang garam, tentu upaya mitigasi tetap perlu diupayakan. Mulai dari sosialisasi gejala awal bencana letusan gunung lumpur, pemasangan alat monitoring sederhana, hingga instrumen peringatan dini.

"Pemerintah daerah dapat mengajak beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di kawasan tersebut untuk mulai membangun sistem mitigasi bencana gunung lumpur karena kedua belah pihak sama-sama berkepentingan. Pemerintah daerah berupaya untuk melindungi warga dan ekonominya, sedangkan perusahaan minyak berupaya untuk mempelajari dinamika diapir lumpur yang berdampak pada keberadaan hidrokarbon di bawah permukaan bumi," katanya.*

Editor: Bagus Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler