Konflik Rusia dan Ukraina Ancaman Kelaparan Global dan Krisis Ketahanan Pangan Dunia

19 Maret 2022, 08:16 WIB
Logo Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) /Ingredients Network

PORTAL JOGJA - Konflik antara Rusia dan Ukraina diperkirakan bakal menyebabkan krisis pangan dunia. Sebab Ukraina merupakan salah satu negara penghasil gandum dan minyak nabati terbear dunia.

Kepala ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Maximo Torero memperingatkan kemungkinan munculnya kriris ketahanan pangan dalam konflik Ukraina dan Rusia.

Ia mengatakan untuk menilai dampak potensial pada harga pangan internasional yang disebabkan oleh pengurangan ekspor sereal dan minyak nabati yang disebabkan oleh konflik dari Ukraina dan Rusia, simulasi telah dilakukan.

Sementara itu Program Pangan Dunia (WFP) pada Jumat (18/3/2022) mengatakan rantai pasokan makanan di Ukraina lumpuh karena sebagian infrastruktur hancur dan banyak toko kelontong, supermarket serta gudang kosong.

Baca Juga: 9 WNI Berhasil Dievakuasi dari Chernihiv, Ukraina ke Zona Aman dan Segera Pulang ke Indonesia

"Persediaan makanan negara tersebut berantakan. Arus masuk barang melambat karena situasi yang tidak aman dan keengganan para sopir," kata Koordinator Darurat WFP untuk krisis Ukraina Jakob Kern dari Polandia.

Ia juga menyampaikan keprihatinan seputar situasi di "kota-kota yang dikepung" seperti Mariupol, karena persediaan makanan dan air habis dan konvoi WFP tidak mendapat akses masuk ke kota tersebut.

WFP membeli hampir separuh pasokan gandum mereka dari Ukraina. Kern mengatakan krisis sejak invasi Rusia 24 Februari telah membuat harga pangan melambung.

"Dengan harga pangan global mencapai tingkat tertinggi sepanjang masa, WFP juga prihatin dengan dampak krisis Ukraina terhadap ketahanan pangan dunia, apalagi di tempat-tempat yang rawan kelaparan," katanya, seraya memperingatkan "kelaparan serupa" di tempat lain.

Baca Juga: Link Live Streaming Kualifikasi MotoGP Indonesia, Siapa Peraih Pole Position

Menurutnya WFP mengeluarkan dana tambahan 71 juta dolar AS (sekitar Rp1 triliun) per bulan untuk pangan tahun ini akibat inflasi dan krisis Ukraina. Jumlah itu akan mencakup persediaan makanan untuk 4 juta orang.

"Kami mengganti pemasok sekarang namun itu berdampak pada harga," katanya.

"Semakin jauh Anda membeli, semakin mahal harganya."

Berdasarkan nilai dasar yang sudah meningkat, harga gandum akan meningkat sebesar 8,7 persen dalam skenario guncangan sedang dan 21,5 persen dalam skenario guncangan berat sebagaimana dilansir Reuters.

Untuk jagung, kenaikannya akan menjadi 8,2 persen dalam kasus sedang dan 19,5 persen dalam skenario parah. Untuk biji-bijian kasar lainnya, harga naik 7-19,9 persen, dan minyak sayur 10,5-17,9 persen, katanya.

Baca Juga: Jadwal Operasi Minyak Goreng Harga 14 Ribu di Sleman, Catat Tanggal dan Lokasinya

Secara global, dalam hal dampak terhadap ketahanan pangan, dalam skenario moderat, jumlah orang yang kekurangan gizi akan meningkat sebesar 7,6 juta orang, sementara tingkat ini akan meningkat menjadi 13,1 juta orang dalam keadaan guncangan berat, kata Torero.

Selain itu, tekanan kenaikan harga pupuk tambahan berasal dari gangguan dan biaya transportasi yang tinggi menyusul pemberlakuan pembatasan ekspor dan karena kenaikan tajam tarif angkutan curah dan peti kemas yang disebabkan oleh pandemi Covid, katanya.

Harga pangan internasional telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa bahkan sebelum konflik di Ukraina. Indeks Harga Pangan FAO rata-rata 140,7 poin di Februari, naik 3,9 persen dari Januari, dan 20,7 persen di atas levelnya setahun sebelumnya.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 19 Maret 2022, Mama Sarah Panik Jaga Elsa, Nino dan Ricky Ribut

Pada 2021, Rusia dan Ukraina berada di peringkat teratas pengekspor gandum, jagung, rapeseed, biji bunga matahari, dan minyak bunga matahari. Untuk bagiannya, Rusia juga berdiri sebagai pengekspor pupuk nitrogen terbesar di dunia dan pemasok pupuk kalium dan fosfor terbesar kedua.

Secara keseluruhan, hampir 50 negara bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk lebih dari 30 persen kebutuhan impor gandum mereka. Dari jumlah tersebut, 26 negara bergantung pada kedua negara untuk lebih dari 50 persen kebutuhan impor gandum mereka, katanya.

Gandum adalah makanan pokok bagi lebih dari 35 persen populasi dunia. Krisis tersebut merupakan tantangan terhadap ketahanan pangan bagi banyak negara, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah, yang bergantung pada impor pangan, dan populasi yang rentan, kata Torero.

Baca Juga: Jadwal Proliga : Jakarta Mandiri vs Bandung BJB dan Surabaya Samator vs Jakarta BNI, O Channel 19 Maret 2022

Di sektor gandum, Rusia adalah pengekspor gandum global teratas, mengirimkan total 32,9 juta ton gandum dan meslin, atau setara dengan 18 persen pengiriman global pada 2021. Ukraina adalah pengekspor gandum terbesar kelima pada 2021, mengekspor 20 juta ton gandum dan meslin dan dengan pangsa pasar global 10 persen, katanya.

Secara terpisah miliarder pupuk dan batu barat Rusia Andrei Melnichenko mengatakan krisis pangan global membayangi, kecuali perang di Ukraina dihentikan.

Sebab harga pupuk melonjak begitu cepat sehingga banyak petani tidak mampu lagi membelinya.

"Peristiwa di Ukraina benar-benar tragis. Kami sangat membutuhkan perdamaian," Melnichenko.

"Salah satu korban krisis ini adalah pertanian dan pangan," katanya.

Melnichenko adalah pendiri EuroChem, salah satu produsen pupuk terbesar Rusia, yang pindah ke Zug, Swiss, pada tahun 2015, dan SUEK, produsen batu bara utama Rusia.

Baca Juga: Jadwal Acara RCTI Sabtu 19 Maret 2022: Aku Bukan Wanita Pilihan, Ikatan Cinta, dan Amanah Wali

Rusia adalah produsen utama pupuk yang mengandung kalium, fosfat, dan nitrogen - nutrisi tanaman dan tanah utama. EuroChem, yang memproduksi nitrogen, fosfat, dan kalium, mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari lima perusahaan pupuk terbesar di dunia.

Perang "telah menyebabkan melonjaknya harga pupuk yang tidak lagi terjangkau oleh petani," kata Melnichenko.

Rantai pasokan makanan yang sudah terganggu oleh Covid kini semakin tertekan.

"Sekarang ini akan menyebabkan inflasi pangan yang lebih tinggi di Eropa dan kemungkinan kekurangan pangan di negara-negara termiskin di dunia," katanya.***

Editor: Bagus Kurniawan

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler