Yang pertama adalah kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar AS untuk 42 jet tempur ringan bermesin ganda Rafale dari Prancis.
Dan yang kedua senilai 13,9 miliar dolar AS untuk 36 pesawat tempur kelas berat F-15 Eagle dari Amerika Serikat.
TNI AU saat ini menerjunkan 49 pesawat tempur dalam empat skuadron, menandakan bahwa 78 pesawat baru tersebut tidak hanya akan menggantikan semua pesawat tempur yang beroperasi tetapi juga akan menambah skuadron baru untuk menjaga Indonesia.
Indonesia kini memiliki 33 pesawat tempur ringan F-16 dan F-5, yang diharapkan akan digantikan oleh Rafale. Selain itu ada 16 pesawat tempur Su-27/30 Rusia, yang kemungkinan besar akan digantikan oleh F-15.
Akuisisi Indonesia penting, pertama, untuk skala mereka, dengan pembelian senilai 22 miliar dolar AS jadi jumlah yang luar biasa bahkan untuk importir senjata yang lebih besar seperti Arab Saudi atau Jepang. Dari pembelian ini ada peningkatan besar pengeluaran anggaran pertahanan.
Pada Februari 2018, Kementerian Pertahanan Indonesia telah mengumumkan kontrak senilai 1,1 miliar dolar AS untuk akuisisi 11 pesawat tempur kelas berat Su-35 Rusia, dengan pengiriman diperkirakan akan dimulai pada akhir 2019 dan kemungkinan pembelian tambahan.
Namun, intervensi oleh Amerika Serikat, dengan menggunakan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA), secara efektif terhenti dan kemudian membatalkan kesepakatan.
Dengan hanya Rusia dan Amerika Serikat yang memproduksi pesawat tempur kelas berat untuk ekspor, Indonesia mengubah rencananya untuk akuisisi AS dari F-16 ringan menjadi F-15 berat dan membeli Rafale sebagai pengganti F-16.