Influencer Perlu Wadah Organisasi dan Kode Etik untuk Melindungi Pekerjaanya

1 November 2020, 16:14 WIB
Ilustrasi influencer. /Pixabay

PORTAL JOGJA - Perkembangan influencer atau pemengaruh sangat pesat di Indonesia. Jumlah dan jenis influencer juga semakin banyak dan beragam.

Namun yang menjadi masalah saat ini influencer belum ada yang mewadahi dan mempunyai payung organisasi. Bila terjadi sesuatu masalah hukum, seorang influencer akan berususan dengan kepolisian dan bakal dijerat dengan UU ITE Pasal 27 ayat 1. Hal itu pernah terjadi seperti kasus Anji dan kasusnya Jerinx.

Hingga saat ini belum ada perlindungan hukum yang mampu menjamin kerja-kerja para influencer ebagai komunikator publik. Akibatnya, informasi yang mereka sampaikan tak jarang justru menimbulkan kegaduhan yang berujung pada kasus hukum. Padahal di era saat ini keberadaan influencer hadir sebagai cara baru dalam mengomunikasikan sebuah isu hingga merketing sebuah produk.

Baca Juga: Kabar Gembira! Pemerintah Bakal Buka Rekrutmen CPNS 2021, Formasi Apa Saja yang Dibutuhkan?

Hal itu terungkap dalam diskusi daring bertajuk workshop Peran Influencer sebagai Komunikator Publik yang digelar Magister Imu Komunikasi UAJY, Jumat (30/10/2020).

Septiahi Eko Nugroho, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan Indonesia adalah negara yang jumlah masyaakatnya menggunakan media sosial cukup banyak seperti YouTube, Whatsapp, Facebook. Instagram, Twitter dan sebagainya,

"Untuk artis mulai Atar Halilintar, Ricis, Rafi ahmad dan lainl-lain," paparnya.

Menurutnya inluencer ini juga punya posisi sebagai salah satu pilar demokrasi. Namun hingga kini belum ada payung hukum seperti wartawan yang dilindungi oleh Dewan Pers dan UU Pers.

Menurutnnya setiap konten kreator, influencer, netizen belum punya perlindungan hukum. Mereka dihadapkan pada tiga regulasi, UU ITE, KUHP atau yang lebih berat UU No 1 Tahun 46 yang ancamannya sampai 10 tahun penjara.

Baca Juga: Thypoon Goni Hantam Dua Wilayah di Filipina Minggu Pagi

"Aparat hukum juga belum sama dalam menerapkan undang-undang. Karena itu aktivitas mereka sangat rawan bila terkait masalah hukum," katanya..

Ia mengusulkan karena minfluencer ini belum ada wadahnya, ada baiknya mulai diwacanakan untuk adan semacam langkah awal pembicaraan. Beberapa wakil dari mereka bersama wakil pemerintah, tokoh masyarakat dan perwakilan lainnya untuk memulainya.

Sementara itu, seorang influencer Meliza Gilbert menambahkan hingga saat ini belum ada wadah organisasi atau asosiasi bagi para influencer. Wadah itu perlu agar kerja-kerja mereka dapat memenuhi pertanggungjawabannya.

"Asosiasi juga penting agar ada perlindungan hukum, kerja para jurnalis bekerja," kata Meliza yang juga pernah bekerja di meia televisi itu.

Baca Juga: Kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Rest Area KM 456 Salatiga, Terindah di Indonesia

Hal senada diungkapkan Abdul Rauf seorang influencer di Yogyakarta. Menurutnya para influencer ini ada yang bergerak atau bekerja secara perseorangan atau individula dan berdasarkan job dari sebuah perusahaan.

"Bila itu dari perusahaan sudah ada rambu-rambu, mana yang boleh dan man yang tidak dan itu biasanya sudah dibicarakan sejak awal,"katanya.

Meliza menambahkan seorang influencer juga harus punya basic kompetensi untuk mendukung karir dan tugasnya. Seorang influencer tak asal mengunggah sebuah konten tanpa sumber yang jelas.

Baca Juga: Premier League Tetap Berlangsung Selama Lockdown Inggris

Ia mencontohkan bahwa dirinya punya wawasan yang cukup di bidang olahraga hingga soal nutrisi. Ia harus engikuti semacama pendidikan untuk mendapatkan kompetensi tersebut.

"Jadi jangan dikira jadi influencer itu enak. Cuma foto-foto lalu difoto dan share kemudian dapat uang," paparnya.

Shinta Maharani dari AJI Yogyakarta menekankan wartawan ada berbagai organisasi yang dinaungi oleh Dewan Pers. Lerka-lerka wartawan juga ada kode etik yang harus ditaati.

Baca Juga: Tembus 1 Juta Kasus Covid-19, Inggris Lakukan Lockdown Nasional Kedua

Oleh karena iitu, para influencer menurutnya juga perlu kode etik itu agar kerja-kerja mereka dapat dipetanggungjawabkan yakn dari konten yang dibuat. *

Editor: Bagus Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler