Lebong Tandai, Batavia Kecil di Bengkulu, Riwayatmu Dulu Kota Bekas Tambang Emas

- 20 November 2021, 12:41 WIB
Bekas mess di Lebong Tandai wilayah bekas tambang emas zaman belanda.
Bekas mess di Lebong Tandai wilayah bekas tambang emas zaman belanda. /Agustan Rachman

PORTAL JOGJA - Wilayah Kota sekitar Bengkulu merupakan salah satu wilayah yang menyimpan banyak cerita sejarah zaman kekuasaan Belanda dan Inggris zaman Thomas Stamford Raffles.

Ada sebutan Batavia kecil. Itu adalah nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di wilayah itu.

Dulu, wilayah ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun investor saat Indonesia sudah merdeka.

Artikel ini sebelumnya ditulis oleh Agustan Rachman dengan judul Lebong Tandai, Riwayatmu Dulu.

Untuk menuju lokasi penambangan emas di Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara ini, kita dapat memilih melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Kisah Baba Lamsam, Patriot Tionghoa Kepahiang Bengkulu yang Tak Terceritakan

Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju Desa Napal Putih. Sedangkan jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih, kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.

Setelah tiba di Desa Napal Putih, kita kemudian menuju Stasiun Molek (sebutan untuk kereta lori berukuran 5 x 1 meter, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang).

Stasiun ini terletak di ujung desa, di pinggir Sungai Ketahun. Biasanya, terminal ini ramai pada Senin dan Kamis.

Sebab pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju Desa Lebong Tandai.

Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB. Hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB karena jalur rel hanya satu.

Baca Juga: Cara Mengatasi Warung Makan Kena Serangan Gaib dan Cara Mengenali Warung Lain Pakai Penglaris atau Pesugihan

Jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet di jalan, salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang dan Molek pun dapat diangkat keluar rel.

Biasanya, para masinis Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan.

Penambang emas di Leboh Tandai Bengkulu Utara menggunakan kereta lori untuk angkut tanah yang ditambang
Penambang emas di Leboh Tandai Bengkulu Utara menggunakan kereta lori untuk angkut tanah yang ditambang Agustan Rachman

Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan di kanan kiri dan Molek yang berjalan di depan atau di belakang Molek yang kita tumpangi.

Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal di jalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 Km.

Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, kita akan melewati 3 terowongan yaitu terowongan lubang panjang (300 meter), lubang tengah (100 meter) dan lubang pendek (50 meter).

Setelah melewati terowongan itu, sampailah kita di Desa Lebong Tandai. Pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang.

Baca Juga: Bocoran Cinta 20 November 2021: Irvan Manfaatkan Jessica untuk Temui Rendy, Elsa Salah Paham Gara-gara Nino Aj

Warung-warung berjejer dengan rapi di sepanjang jalan di tengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu dan menonton TV.

Bahkan tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.

Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum ketika tiba di desa ini. Betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam dengan pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba di depan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern.

Listrik yang terang-benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa. Hampir di tiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup di daerah terpencil ini.

Lokasi yang terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini.

Baca Juga: 7 Ciri-ciri Warung Makan Diduga Pakai Penglaris dan Pesugihan, Cara Mengatasi Serangan Gaib Bisnis Kuliner

Saat itu dibangun kamar bola (tempat bermain biliar), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.

Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.

Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980-an. Di desa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini, hampir saja ada lokalisasi.

Sebab PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup di lokasi tambang tanpa boleh membawa istri).
Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, di sebelah selatan berbatasan dengan Bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan Bukit Baharu.

Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.

Penduduk di sini cukup heterogen, ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu.

Desa Lebong Tandai dari kejauhan yang merupajan desa bekas wilayah tambang emas yang menarik jadi tempat wisata sejatrah di Bengkulu
Desa Lebong Tandai dari kejauhan yang merupajan desa bekas wilayah tambang emas yang menarik jadi tempat wisata sejatrah di Bengkulu Agustan Rachman

Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi, gotong-royong warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.

Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining, sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya dikuasi kroni-kroni Orde Baru.

Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Mukomuko. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi. Jika menolak konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek.

Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi ke luar desa.

Keindahan alam di desa ini memang menakjubkan. Siang harinya, kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata alam dan wisata sejarah.

Diantaranya, tambang emas tradisional, eks Rumah Sakit Belanda, kamar bola, Rumah Simau atau bangunan terbuat dari kayu yang mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, pemakaman Belanda, pemakaman China, makam pahlawan, gedung bulutangkis Belanda, Air Panas Alami, Alat Tambang Kuno, Sungai Lusang, Hutan TNKS dan kerajinan perak. ***

 

Editor: Bagus Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah