Erdogan menolak seruan Macron agar Turki meninggalkan Libya

- 6 Februari 2021, 09:05 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. /instagram.com/rterdogan/

PORTAL JOGJA - Pilihan Pemerintah Turki untuk mendukung Government of National Accord (GNA) Libya, ditentang oleh Perancis.

Setelah salat Jumat di Masjid Hazreti Ali di Istanbul, Turki, Jumat 5 februari 2021, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menyatakan ketidaksetujuannya atas respon Presiden Perancis Emmanuel Macron yang meminta Turki untuk menarik pasukan dari Libya.

"Ada tentara bayaran yang datang dari Chad, atau Mali, tempat Prancis (dulu) menginvasi. Macron perlu melihat ini dulu," kata Erdogan.

Pada Januari 2020, Turki mulai mengerahkan tentara ke Libya setelah Parlemen Turki menyetujui mosi untuk menanggapi seruan Libya untuk pasukan Turki.

Baca Juga: EMAS Antam dan UBS Turun Lagi di Akhir Pekan! Hari ini Sabtu 6 Februari 2021 di Pegadaian

Bantuan Turki mengubah gelombang tersebut menjadi menguntungkan GNA, dan pihak-pihak lawan menandatangani gencatan senjata pada 23 Oktober 2020.

Pemerintah GNA Libya yang diakui secara internasional membuat permintaan resmi untuk dukungan "udara, darat dan laut" dari militer Turki untuk membantu menangkis serangan oleh pasukan yang setia kepada pemberontak Jenderal Khalifa Haftar, yang berusaha untuk mengambil kendali atas ibu kota Libya, Tripoli.

Pada 22 Desember 2020 parlemen Turki menyetujui resolusi yang diperpanjang selama 18 bulan (per 2 Januari 2021) untuk misi militer Turki di Libya.

Turki mendukung GNA, di bawah pemerintahan Fayez al-Sarraj yang juga didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB). Sedangkan milisi dan tentara bayaran pemberontak jenderal Hafter didukung oleh Perancis, Rusia, Yordania, Uni Emirat Arab dan negara-negara Arab utama lainnya.

Baca Juga: Menyentuh! Lelaki Bersahaja Ini Dukung Gerakan Jateng Di Rumah Saja, Ini Alasannya

“Dukungan Prancis telah mendorong Haftar untuk bersikeras melakukan perlawanan militer yang semakin menambah daftar panjang rasa sakit dan terluka dari rakyat Libya yang telah lelah berperang,”ujar pemerintah Turki.

Konflik yang berlangsung hampir 10 tahun ini membuat banyak warga Libya memilih untuk meninggalkan tanah air mereka dan pergi ke Eropa untuk mencari suaka.

Imigran Libya pergi menuju Italia yang menjadi pintu masuk menuju Eropa. Negara ini telah menjadi salah satu daerah transit terpenting bagi para migran dalam perjalanannya ke Eropa.

Para migran banyak yang pergi menggunakan perahu karet tipis atau perahu nelayan reyot berbagi dengan migran lainnya.

Baca Juga: Nyai Roro Kidul, Cerita Horor yang Menarik Difilmkan, Ini Artis yang Pernah Jadi Ratu Pantai Selatan

Rute Mediterania tengah digambarkan oleh badan pengungsi PBB, UNHCR sebagai rute migrasi paling berbahaya di dunia. Lebih dari 1.200 orang tewas tahun lalu saat mencoba menyeberangi Mediterania.***

Editor: Andreas Desca Budi Gunawan

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah