Teater ‘Tapak Tilas Tanah Basah’ Upaya Menyuarakan Kerusakan Lingkungan di Rancaekek

- 13 Maret 2023, 10:27 WIB
Cuplikan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” karya Riyadhus Shalihin yang dimainkan oleh Wawan Kaswan dan Shinta di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022.
Cuplikan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” karya Riyadhus Shalihin yang dimainkan oleh Wawan Kaswan dan Shinta di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022. / Instagram @psbk_jogja /

PORTAL JOGJA - Riyadhus Shalihin adalah seorang dramaturg dan penulis naskah drama, lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

Pria yang tinggal di Kota Bandung ini juga dikenal sebagai seniman teater dokumenter bertema sejarah sosial. Baginya, arsip merupakan diorama narasi. Maka ia menjadikan arsip untuk menciptakan imajinasi sosial dalam menciptakan karya. Kini, ia sedang menekuni forensik performatif yakni praktik artistik berbasis penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan ruang, ingatan, dan arsip.

Riyadhus menceritakan bahwa karya teater “Tapak Tilas Tanah Basah” yang diciptakan berfokus pada dunia industri di Kabupaten Bandung. Lebih detil fokus pada isu lingkungan dan industri tekstil di kawasan Rancaekek.

“Saya mencoba melihat efek kerusakan yang lain dari industri tekstil di Rancaekek. Salah satunya adalah kerusakan lingkungan dan kerusakan hubungan sosial,” jelas Riyadhus.

Baca Juga: Kirab Budaya Sadranan Agung Wotgaleh Upaya Lestarikan Budaya Leluhur 

Terciptanya karya ini, berawal dari Riyadhus bertemu dengan sejumlah teman-temannya. Berbincang dan berdiskusi tentang isu yang terjadi. Pertemuan-pertemuan inilah yang kemudian menjadi salah satu inspirasi lahirnya karya.

Isu pertama yang diusung yaitu tentang kondisi lingkungan di Aceh. Hingga akhirnya terbesit untuk membuat karya berupa karya dokumenter. Guna mengabadikan secara nyata kerusakan yang terjadi di bumi Serambi Mekah tersebut.

“Awalnya kita itu dari sebuah workshop yang mengangkat satwa-satwa yang ada di Aceh yang terancam punah serta ciri khas yang ada di Aceh. Setelah itu baru kita berinisiatif untuk membuat film dokumenter ini,” katanya.

Kemasan dari karya Tapak Tilas Tanah Basah merupakan rangkuman perjalanan. Seluruh pertemuan dan kejadian diperpadat dalam durasi yang lebih singkat. Namun tanpa meninggalkan esensi isu yang diusung.

“Berangkat dari kampanye yang dikemas dalam teater dokumenter dimana isu yang diangkat seperti ruang-ruang agriculture yang berubah menjadi kawasan manufacture,” ujarnya.

Pertunjukan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” ini pernah dipentaskan pada Festival Gugus Bagong 2022 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta.

Bentuk Pertunjukan Teater Dokumenter

Wawan Kaswan didampingi istrinya, Shinta, sangat mendalami perannya ketika menceritakan tanah halamannya di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Teater dokumenter bertajuk Tapak Tilas Tanah Basah ini bercerita mengenai renungan kritis terhadap perubahan lingkungan dan sosial di Rancaekek akibat industrialisasi. Karya tersebut mengambil latar ruang tamu sebagai tempat tinggal Wawan dan Shinta yang merupakan penutur, penampil, dan saksi atas bergesernya lanskap agrikultur menjadi manufaktur di Rancaekek.

Dalam teater dokumenter tersebut, Wawan dan Shinta yang merupakan saksi hidup perubahan dari Rancaekek menceritakan kehidupan di sana yang semula merupakan kawasan yang terkenal akan produksi padi Rancaekek yang gurih, menjadi padi yang kualitasnya turun karena kebijakan penggantian sistem tanam untuk menggenjot hasil panen.

“Kecamatan Rancaekek yang memiliki persawahan yang begitu luas, cita rasa berasnya terkenal dengan kegurihannya. Namun sayang teman-teman, pada 1980 ketika Orde Baru masuk, tatanan pertanian di Rancaekek mengalami kerusakan. Pola bertanam petani dianggap lambat karena tidak menghasilkan panen yang sangat banyak. Pada akhirnya diganti dengan babut, digenjot untuk menghasilkan padi berkali-kali lipat dengan menggunakan sistem, menggunakan pupuk kimia, pestisida, yang tentunya tidak sangat ramah lingkungan,” tutur Shinta.

Selain itu keduanya menyebutkan kebijakan industrialisasi Orde Baru dengan mendirikan pabrik di wilayah Rancaekek menjadikan kawasan tersebut tercemar. Sehingga kualitas air dan tanahnya menjadi buruk.

“Barusan, bapak memperlihatkan contoh air yang sudah tercemar dan air yang murni, begitupun dengan sawah nanti bisa teman-teman lihat, itu adalah salah satu kebijakan dari orde baru. Bahwasanya kebijakan pendirian industri-industri di pedesaan, industri-industri itu mengalirkan airnya ke sungai-sungai sehingga air tercemar, sementara air ini dipakai untuk mengairi sawah, nah disitulah beras Rancaekek, padi Rancaekek mengalami penurunan produksi bahkan gagal panen,” lanjut Shinta.

Karya Riyadhus Shalihin ini berupaya untuk menyuarakan mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat limbah pabrik, khususnya di Rancaekek. Riyadhus menjelaskan bahwa berbagai aksi penolakan terhadap adanya pabrik sudah sering disuarakan, namun hal tersebut masih belum membuahkan hasil. Riyadhus kemudian melihat bahwa kesenian berjenis teater dokumenter dapat menjadi soft campaign untuk menyuarakan isu lingkungan ini.

“Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah itu sudah sering, sudah sering kita tolak. Melalui demonstrasi, aktivisme, melalui datang ke dinas lingkungan hidup, dengan NGO atau LSM, dengan organisasi masyarakat, semua sudah dilakukan, tapi susah sekali. Akhirnya saya melihat bahwa kesenian, dengan jenis teater dokumenter seperti ini bisa membawakan atau menyuarakan melalui cara lain. Agar isu ini setidaknya, misalnya kamu datang, orang-orang lain datang, siapa tahu ada orang yang berasal dari aktivis lingkungan dan hal ini akan lebih sifatnya jadi semacam soft campaign, yang lain daripada campaign-campaign yang sifatnya demonstrasi dan aktivisme.” terang Riyadhus menjelaskan tujuan dari karyanya tersebut.

Baca Juga: Warga Ngaglik Sleman Swadaya Perbaiki Jalan Rusak

Karya Riyadhus ini merupakan hasil keresahan dirinya melihat industrialisasi di Bandung yang banyak berdiri di kawasan pinggiran kota, salah satunya Rancaekek. Ia sebelumnya mengangkat persoalan buruh karyawan tekstil hingga pada akhirnya menemukan dampak lain dari industrialisasi yaitu kerusakan lingkungan.

“Kebijakan menggenjot ekonomi, entah kenapa disimpannya di pinggiran kota Bandung, industri tekstil ini, salah satunya ada di Rancaekek. Saya pada 2021 mengolah persoalan buruh karyawan tekstil. Singkat kata, akhirnya saya coba melihat efek kerusakan lain dari industri tekstil ini, salah satunya adalah kerusakan lingkungan dan hubungan sosial di Rancaekek,” ungkapnya.

Melalui bantuan Afida Rahmati dan Faiz Azhari, Riyadhus dihubungkan dengan Wawan Kaswan dan Shinta, yang merupakan warga Rancaekek yang mengalami langsung perubahan-perubahan di kawasan tersebut.

Shinta sendiri mengaku bahwa teater dokumenter yang digubah Riyadhus ini bisa menjadi wadah untuk mencurahkan keresahan dirinya dan juga warga Kecamatan Rancaekek terhadap permasalah lingkungan yang terjadi.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: psbk.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x