Teater ‘Tapak Tilas Tanah Basah’ Upaya Menyuarakan Kerusakan Lingkungan di Rancaekek

- 13 Maret 2023, 10:27 WIB
Cuplikan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” karya Riyadhus Shalihin yang dimainkan oleh Wawan Kaswan dan Shinta di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022.
Cuplikan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” karya Riyadhus Shalihin yang dimainkan oleh Wawan Kaswan dan Shinta di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta 2022. / Instagram @psbk_jogja /

Pertunjukan teater dokumenter “Tapak Tilas Tanah Basah” ini pernah dipentaskan pada Festival Gugus Bagong 2022 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta.

Bentuk Pertunjukan Teater Dokumenter

Wawan Kaswan didampingi istrinya, Shinta, sangat mendalami perannya ketika menceritakan tanah halamannya di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Teater dokumenter bertajuk Tapak Tilas Tanah Basah ini bercerita mengenai renungan kritis terhadap perubahan lingkungan dan sosial di Rancaekek akibat industrialisasi. Karya tersebut mengambil latar ruang tamu sebagai tempat tinggal Wawan dan Shinta yang merupakan penutur, penampil, dan saksi atas bergesernya lanskap agrikultur menjadi manufaktur di Rancaekek.

Dalam teater dokumenter tersebut, Wawan dan Shinta yang merupakan saksi hidup perubahan dari Rancaekek menceritakan kehidupan di sana yang semula merupakan kawasan yang terkenal akan produksi padi Rancaekek yang gurih, menjadi padi yang kualitasnya turun karena kebijakan penggantian sistem tanam untuk menggenjot hasil panen.

“Kecamatan Rancaekek yang memiliki persawahan yang begitu luas, cita rasa berasnya terkenal dengan kegurihannya. Namun sayang teman-teman, pada 1980 ketika Orde Baru masuk, tatanan pertanian di Rancaekek mengalami kerusakan. Pola bertanam petani dianggap lambat karena tidak menghasilkan panen yang sangat banyak. Pada akhirnya diganti dengan babut, digenjot untuk menghasilkan padi berkali-kali lipat dengan menggunakan sistem, menggunakan pupuk kimia, pestisida, yang tentunya tidak sangat ramah lingkungan,” tutur Shinta.

Selain itu keduanya menyebutkan kebijakan industrialisasi Orde Baru dengan mendirikan pabrik di wilayah Rancaekek menjadikan kawasan tersebut tercemar. Sehingga kualitas air dan tanahnya menjadi buruk.

“Barusan, bapak memperlihatkan contoh air yang sudah tercemar dan air yang murni, begitupun dengan sawah nanti bisa teman-teman lihat, itu adalah salah satu kebijakan dari orde baru. Bahwasanya kebijakan pendirian industri-industri di pedesaan, industri-industri itu mengalirkan airnya ke sungai-sungai sehingga air tercemar, sementara air ini dipakai untuk mengairi sawah, nah disitulah beras Rancaekek, padi Rancaekek mengalami penurunan produksi bahkan gagal panen,” lanjut Shinta.

Karya Riyadhus Shalihin ini berupaya untuk menyuarakan mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat limbah pabrik, khususnya di Rancaekek. Riyadhus menjelaskan bahwa berbagai aksi penolakan terhadap adanya pabrik sudah sering disuarakan, namun hal tersebut masih belum membuahkan hasil. Riyadhus kemudian melihat bahwa kesenian berjenis teater dokumenter dapat menjadi soft campaign untuk menyuarakan isu lingkungan ini.

“Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah itu sudah sering, sudah sering kita tolak. Melalui demonstrasi, aktivisme, melalui datang ke dinas lingkungan hidup, dengan NGO atau LSM, dengan organisasi masyarakat, semua sudah dilakukan, tapi susah sekali. Akhirnya saya melihat bahwa kesenian, dengan jenis teater dokumenter seperti ini bisa membawakan atau menyuarakan melalui cara lain. Agar isu ini setidaknya, misalnya kamu datang, orang-orang lain datang, siapa tahu ada orang yang berasal dari aktivis lingkungan dan hal ini akan lebih sifatnya jadi semacam soft campaign, yang lain daripada campaign-campaign yang sifatnya demonstrasi dan aktivisme.” terang Riyadhus menjelaskan tujuan dari karyanya tersebut.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: psbk.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x