Tradisi Semana Santa Menyambut Paskah Peninggalan Portugis Abad ke-16 di Kota Larantuka NTT

8 April 2023, 08:11 WIB
Arak-arakan Patung Tuan Ama (Bunda Maria) pada Jumat Agung dalam prosesi Semana Santa di Kota Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). /sesawi.net/

PORTAL JOGJA - Semana Santa adalah kegiatan ritual umat Katolik di Kota Larantuka NTT dalam menyambut Hari Raya Paskah. Tradisi ini dimulai sejak Portugis masuk ke Larantuka ratusan tahun yang lalu dan ini satu-satunya prosesi yang ada di dunia.

Semana Santa atau Hari Bae adalah ritual perayaan Pekan Suci Paskah yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kata Semana Santa berasal dari Bahasa Portugis. Semana berarti “pekan” atau “minggu” dan Santa yang berarti “suci.”

Secara keseluruhan, semana santa berarti pekan suci yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu Pengkhianatan, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.

Baca Juga: Sandiaga Uno Apresiasi Kesuksesan Musisi Muda Indonesia Claudia Emmanuela di Panggung Dunia

Cerita rakyat yang beredar bahwa tradisi Semana Santa dimulai sejak penemuan Patung Tuan Ma di Pantai Larantuka pada 1510.

Patung tersebut diperkirakan terdampar di pantai akibat karamnya kapal milik Portugis di perairan Larantuka. Atas perintah dari Kepala Kampung Lewonama saat itu, patung Tuan Ma tersebut kemudian disimpan di rumah Pemujaan Korke.

Warga setempat yang kala itu belum mengenal sosok patung tersebut, kemudian menghormatinya sebagai benda sakral. Masyarakat pun kerap memberikan sesaji ketika merayakan peristiwa tertentu seperti perayaan panen dan perayaan-perayaan lainnya. Dan kemudian menjadi tradisi yang dilestarikan hingga sekarang .

Rangkaian Trihari suci dimulai pada Hari Jumat Agung hingga Minggu Paskah dirayakan oleh umat Kristiani di seluruh dunia setiap tahunnya. Pada kesempatan ini, gereja-gereja biasanya menampilkan tablo (drama penyaliban) untuk mengenang kisah sengsara Yesus Kristus (Isa Almasih).

Namun, tidak demikian dengan perayaan di Larantuka, Ibu Kota Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Larantuka punya tradisi turun-temurun peninggalan Bangsa Portugis sejak 500 tahun lalu dalam merayakan prosesi Jumat Agung dengan mengarak patung Yesus melewati laut. Selama Trihari suci Larantuka sunyi senyap tanda perkabungan.

Sebelum memulai prosesi Jumat Agung, ritual keagamaan dilakukan di hari Kamis. Saat ritual dilakukan, Larantuka atau populer disebut Kota Reinha Rosari itu bak kota tak berpenghuni. Setelah pintu kapel dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru mulai melakukan kegiatan cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana dalam suasana hening dan sakral hingga malam hari. Umumnya Peziarah yang mencium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana berpakaian serba hitam dan mereka rela berjalan satu kilometer bolak balik dari Kapela Tuan Ma dan dan Tuan Ana. Lalu, keesokan harinya, Jumat, umat akan memadati tempat-tempat sakral yang akan dilewati prosesi Jumat Agung.

Pada hari Jumat Agung, prosesi diawali dengan doa di Kapel Tuan Meninu (Arca Kanak-kanak Yesus). Lalu, patung Yesus diarak melewati laut dengan menggunakan sampan oleh umat dengan diiringi oleh ratusan perahu, sampan dan kapal-kapal laut. Prosesi Tuan Meninu atau yang biasa disebut Laskar Laut itu, akan melawan arus laut yang cukup kencang yang dimulai dari Pantai Kota di Selat Gonzalo antara Pulau Adonara dan ujung timur Pulau Flores, menuju Pante Kuce di depan Istana Raja Larantuka. Kemudian ditahtakan pada armida (pemberhentian) Tuan Meninu di Pohon Sirih.

Pada malam harinya di hari Jumat Agung, ribuan peziarah Katolik dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri, mengikuti prosesi Jumat Agung.

Hampir setiap tahun selalu diikuti oleh duta besar Portugis,Vatikan, Brasil dan beberapa duta besar dari Negara Amerika Latin lainnya. Prosesi Jumat Agung dapat dihayati sebagai perenungan mengikuti perjalanan Bunda Maria yang begitu berduka cita dalam mengikuti penderitaan putranya Yesus Kristus.

Sejak perarakan keluar dari gereja mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi beberapa pemberhentian para “ana muji” melagukan “popule meus” yang mengisahkan tentang keluhan Allah akan rahmat dan kebaikan-Nya yang disia-siakan oleh umat-Nya. Di setiap Armida (perhentian), dalam keheningan nan bening, ketika semua doa dan lagu dihentikan berkumandanglah ratapan Kristus yang memilukan, “...Ovos omnes est dolor sicut dolor meus (Wahai kalian yang melintas di jalan ini adakah deritamu sehebat deritaku).”

Baca Juga: Kemenag Siapkan Beasiswa Indonesia Bangkit 2023, Rencana Dibuka Pertengahan April

Prosesi Jumat Agung ini telah menjadi tradisi Katolik di seantero Keuskupan Agung Larantuka dan menjadi wisata rohani yang menarik bagi umat Katolik maupun peziarah lainnya. Selama perayaan paskah, Larantuka menjadi penuh pesona dan daya tarik serta sarat nuansa kerohanian khas Katolik.

Prosesi Jumat Agung di kota kecil Larantuka itu tetap akan abadi, karena tradisi keagamaan itu telah berubah wujud menjadi sebuah wisata rohani yang mengundang begitu banyak peziarah Katolik untuk melihat dari dekat warisan budaya peninggalan Bangsa Portugis di ujung timur Pulau Flores itu.***

 

Editor: Chandra Adi N

Sumber: sesawi.net

Tags

Terkini

Terpopuler