Pakar UGM : Solusi Penanganan Sampah Mulai dari Berbayar Hingga Dijadikan Bahan Bakar

- 28 Juli 2023, 16:45 WIB
Ilustrasi - TPA Piyungan
Ilustrasi - TPA Piyungan /Foto : Dokumen

PORTAL JOGJA - Permasalahan sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi perbincangan hangat pasca penutupan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Piyungan karena sudah melibihi kapasitas.  TPA Piyungan yang menampuang sampah dari 3 kabupaten kota di DIY ini terletak di Dusun Ngablak dan Watugender, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.

Jika dilihat dari sisi sejarah TPA ini didesain sejak sekitar 40 tahun lalu dengan luas 16 hektare menggunakan sistem sanitary landfill yaitu sistem pengelolaan atau pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya dengan tanah dengan harapan mengalami dekomposisi agar terurai.

Seiring berjalannya waktu kondisi tumpukan sampah di TPA Piyungan yang semakin tinggi dan melebihi kapasitas membutuhkan pembenahan dalam waktu dua bulan untuk menata ulang kawasan tersebut. Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc. selaku kepala PSLH UGM mengatakan pemusatan pengelolaan akhir sampah pada satu lokasi supaya efisien ditambah dengan adanya perubahan gaya hidup dari pedesaan menjadi perkotaan tentu memerlukan pihak ketiga untuk mengelolanya.

Baca Juga: Bupati Sleman Sebut Pembangunan TPST Tamanmartani Sudah 90 persen

“Apabila sekarang TPA Piyungan ditutup dan pengelolaan sampah dikembalikan ke daerah pasti akan kelabakan. Kami sedang mendesain riset untuk meneliti pengujian kualitas air di sungai-sungai kira-kira dua bulan lagi kualitas airnya seperti apa. Saya memiliki praduga nanti lokasi pembuangan sampah yang sudah tidak diperbolehkan maka akan muncul lagi. Sehingga jangan disalahkan jika kualitas lingkungan menurun di perkotaan karena memang belum ada solusi pengelolaan sampah akhir. Supaya efektif harus jadi satu kesatuan, namun jangan sanitary landfill, melainkan harus ada teknologi,” ungkapnya, Kamis (27/7).

Penutupan TPA Piyungan merupakan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya. Jika sebelumnya hal ini dilakukan oleh masyarakat sekitar yang protes terutama pada musim penghujan dikarenakan banjir kemudian jalanan ditutup sehingga truk pengangkut sampah tidak diperbolehkan masuk.

Sedangkan untuk yang sekarang pengelola sampah yang membuat kebijakan penutupan tersebut. Kejadian ini akan terus bergulir jika tidak ada solusi yang konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sampah sebenarnya adalah pelayanan publik, sehingga seharusnya hal ini merupakan tanggung jawab dari kebijakan pemerintah, namun pemerintah saja akan kurang sehingga harus disampaikan kepada stakeholder untuk dilakukan musyawarah dan diskusi terkait penyelesaiannya. Sampah harus menjadi pelayanan yang dikelola oleh pemerintah karena akan berujung kepada kebersihan dan kesehatan serta peran stakeholder sangat kuat dalam hal ini.

Pemerintah Daerah Sleman memiliki ide membuat tempat pembuangan sampah sementara di daerah Sleman utara yaitu berlokasi pada sisa lokasi penambangan pasir. Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc. mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan masalah baru dikarenakan di sana merupakan daerah resapan sehingga akan mengakibatkan kacaunya air tanah.

“Hal yang harus kita sadari adalah mengenalkan dulu jenis-jenis sampah kepada masyarakat dan dilakukan dengan membuat Perda yang disana akan diatur serta saya mengusulkan konsep sampah berbayar,” ungkapnya.

Konsep dari sampah berbayar ini adalah jika seseorang atau keluarga ingin membuang sampah dengan membayar sedikit, maka harus mengelola sampahnya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemilahan sampah secara mandiri. Jika mempunyai sampah dari bahan organik dapat dikelola sendiri dengan dijadikan kompos, kemudian sampah dari kertas disisihkan sendiri serta sampah plastik juga disisihkan sendiri yang nantinya akan ada pihak ketiga yang akan mengambil.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x