Sistem Kepercayaan Masyarakat Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Merapi

6 Maret 2023, 05:20 WIB
Ilustrasi Gunung Merapi /Twitter.com/@BPPTKG

PORTAL JOGJA - Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api paling aktif di Pulau Jawa. Tepatnya berada di 4 wilayah kabupaten yaitu Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali.

Gunung Merapi berdiri menjulang lebih kurang 2.968 meter di atas permukaan laut. Sungguh gunung berapi yang gagah dan tampak berkilau jika punggungnya ditimpa sinar matahari.

Namun, dibalik penampilannya yang begitu tenang, Gunung Merapi menyimpan kekuatan alam dahsyat, dapat menyemburkan awan panas yang mampu meluluhlantakkan apa saja yang ada di sekelilingnya.

Dalam catatan geologi modern, letusan Gunung Merapi tahun 1872 dianggap sebagai erupsi terkuat. Tetapi erupsi yang terjadi pada 1930 yang menelan 13 desa dan 1.400 nyawa dalam sekejap, tercatat sebagai letusan dengan korban terbesar hingga sekarang.

 Baca Juga: Upacara Labuhan Merapi Bentuk Ungkapan Rasa Syukur Kepada Tuhan

Bagi masyarakat lain, erupsi Gunung Merapi sering dianggap sebagai bencana. Tapi bagi orang Jawa, khususnya mereka yang tinggal secara turun-temurun di lerengnya, Gunung Merapi mempunyai arti tersendiri.

Jika diamati dengan seksama akan tampak bahwa untuk mempertahankan kehidupan, mereka (penduduk lereng) tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan selalu tergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya secara terus-menerus.

Dari interaksi tersebut, melalui pengalaman dan pengamatan, mereka akan mendapatkan gambaran tentang lingkungan hidupnya, memberikan serangkaian petunjuk mengenai apa yang dapat diharapkan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap lingkungan, demi kehidupan yang baik.

Pada hakikatnya sistem kepercayaan Jawa sama dengan kebudayaan Jawa. Maka ia adalah serangkaian pengetahuan, petunjuk-petunjuk, aturan-aturan, resep-resep dan strategi-strategi untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup orang Jawa.

Orang-orang yang hidup di lereng Merapi, seperti diajarkan bukan untuk menguasai alam, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya dengan kehidupan alam dan menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan alam.

Sehingga sebesar dan sedahsyat apapun letusan Gunung Merapi, bagi penduduk yang tinggal di lerengnya, bukanlah merupakan suatu ancaman serius yang harus dikhawatirkan berlebihan, bahkan justru dianggap sebagai sebuah berkah.

Seperti dikutip dari buku “Bencana dan Anugerah: Sebuah Pendekatan Kajian Sosial Budaya Masyarakat Lereng Merapi” karya Septian Aji Permana yang diterbitkan pada 2017 berikut ini:

“Gunung Merapi dalam kosmologi masyarakat Jawa berperan sangat penting. Khususnya bagi masyarakat lereng Merapi percaya bahwa Gunung Merapi merupakan penderma (anugerah) dan juga pengambil (bencana). Dikatakan penderma karena letusan Gunung Merapi dapat memberikan manfaat berupa material batu dan pasir serta abu vulkanik yang dihasilkan dari letusan Gunung Merapi dapat memberikan kesuburan tanah. Kewajiban alam telah memberikan kehidupan bagi manusia, sehingga ketika Gunung Merapi menuntut haknya untuk mengambil semua apa yang sudah dikeluarkan oleh Gunung Merapi, bagi masyarakat lereng Merapi itu hal yang wajar. Masyarakat selalu nrima lan lila dalam menyikapi bencana erupsi Gunung Merapi. Karena menurut pandangannya bahwa melalui sikap nrima maka kabegjan atau keberuntungan akan datang dengan sendirinya.”

Penduduk lereng Gunung Merapi percaya bahwa apa yang rusak akan mendapat ganti berlipat. Maka disinilah keilmuan berperan penting dalam menyeimbangkan kearifan lokal yang tumbuh di tengah masyarakat untuk diperlukan dalam menghadapi bencana letusan awan panas.

Baca Juga: Anak Rambut Gimbal di Dataran Tinggi Dieng Dipercaya Sebagai Titipan Penguasa Alam Gaib 

Manusia tidak bisa mengalahkan alam dengan teknologi apapun. Maka diperlukan penghormatan terhadap alam tapi bukan berarti harus takut kepada alam. Melainkan sebuah bentuk penghargaan terhadap keseimbangan alam.

Setiap Gunung Merapi meletus, waktu itu jugalah mereka harus menyesuaikan diri. Menyingkir atau mengungsi dahulu, sebagai maksud memberikan jalan atau ruang pada gunung yang hendak “menjalankan tugas alamnya” meskipun penduduk harus kehilangan harta bendanya.

Setelah semuanya selesai, barulah masyarakat lereng dapat kembali lagi, namun dengan suasana yang baru, serta kehidupan baru.

Mereka memanfaatkan apa yang telah dibuat sang gunung. Seperti, misalnya mengambil pasir, batu-batuan, dan bahkan juga memanfaatkan kondisi baru lingkungan lereng Gunung Merapi dengan menciptakan hal-hal atau aktivitas yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat.

Hal tersebut semata-mata dianggap sebuah berkah tersendiri oleh masyarakat lereng Gunung Merapi. Karena selalu saja ada asa atau pengharapan baru untuk menjalani hidup selanjutnya selepas erupsi.***

Editor: Chandra Adi N

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler