UGM Kukuhkan Guru Besar Perempuan Pertama pada Ilmu Hubungan Internasional

- 27 Februari 2023, 20:35 WIB
Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.PP., M.Sc. Guru Besar dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional/
Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.PP., M.Sc. Guru Besar dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional/ /Dok Humas UGM./

PORTALJOGJA – Universitas Gadjah Mada (UGM) mengukuhkan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.PP., M.Sc. sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional, Kamis (23/3), di Balai Senat Gedung Pusat UGM.

Pada upacara pengukuhan, Poppy menyampaikan pidato yang berjudul “Menimbang Kembali Embedded Liberalism untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateral Perdagangan Internasional”.

Poppy dalam pidatonya menyebutkan soal keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia telah melanggar ketentuan dari WTO.

Baca Juga: Lustrum: Tradisi Meruwat Kampus yang Berasal dari Romawi Kuno

Merespons kebijakan itu, Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi di dalam negeri. Menurut Poppy, keputusan panel dari WTO ini berawal dari tuntutan Uni Eropa selaku penggugat atas dua kebijakan utama pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mentah nikel dan kewajiban untuk melakukan proses pertambahan nilai domestik.

Pertikaian dagang antara Uni Eropa dan Indonesia ini berlangsung pada saat lembaga penyelesaian sengketa WTO tengah dilanda kemacetan sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan putusan proses penyelesaian sengketa ini akibat ketiadaan anggota Appellate Body yang merupakan organ penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO.

“Kekosongan anggota Appellate Body WTO ini merupakan salah satu dari deretan bukti bahwa multikulturalisme perdagangan di bawah WTO tengah mengalami tekanan luar bisa dalam beberapa tahun belakangan,”ujar Poppy seperti di laman resmi UGM.

Dari kasus pertikaian dagang ini, menurut Poppy mencerminkan WTO mengalami stagnasi. Padahal, keberadaan WTO saat ini harus mampu beradaptasi dan memberi ruang bagi negara-negara anggotanya dalam menjalankan kebijakan domestik yang tengah dihadapkan pada ancaman nyata perubahan iklim dan perkembangan pesat ekonomi digital. Ia menjelaskan bahwa saat ini WTO mengalami stagnasi yang membawa implikasi yang signifikan pada perdagangan global.

“Terlihat dalam stagnasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO berakibat pada tereskalasinya perang dagang di antara negara-negara kuat dan kecenderungan penyelesaian sengketa secara sepihak dan dilakukan di luar mekanisme WTO,” jelasnya.

Bagi Poppy, WTO seolah sekarang ini kehilangan relevansinya sebagai wadah untuk melakukan negosiasi, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan perdagangan global. Stagnasi pada WTO juga memperkuat narasi mengenai semakin mendesaknya gagasan untuk mereformasi WTO, baik dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, maupun cakupan kerja sama.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N

Sumber: UGM


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah