Pelajaran dari Bencana Gempa Turki untuk Mitigasi di Indonesia

- 11 Februari 2023, 05:58 WIB
Pakar Kegempaan UII Prof Sarwidi
Pakar Kegempaan UII Prof Sarwidi /Istimewa/

PORTAL JOGJA - Bencana gempa bumi di Turki pada Senin pagi 6 Februari 2023 pukul 04.17 waktu setempat menyebabkan jatuhnya korban hingga 12.000 jiwa dan kerusakan bangunan yang masif. Pakar kegempaan sekaligus Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Sarwidi, punya penilaian tersendiri atas peristiwa memilukan tersebut. Menurutnya, banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk mitigasi bencana gempa di Indonesia ke depan.

“Lebih dari 2/3 wilayah Indonesia rawan gempa, dan bahkan wilayah-wilayah yang pada penduduknya banyak yang berada di wilayah rawan gempa. Dengan demikian, mayoritas masyarakat Indonesia berada dalam ancaman bencana gempa bumi, yang sewaktu-waktu dapat terjadi,” ujarnya pada pada Kamis (2/9).

Pria yang juga menjabat sebagai Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menambahkan, sebagaimana dengan Turki dan negara-negara yang rawan gempa lainnya, antisipasi bencana gempa di Indonesia menggunakan pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB).

Baca Juga: Sebagian Warga Yogyakarta Rasakan Gempa yang Mengguncang Wilayah Tenggara Pacitan

PRB gempa meliputi tiga unsur yang harus dikelola. Pertama adalah ancaman gempa yang harus terus menerus digali dan diteliti untuk mendapatkan peta kerawanan gempa yang selalu terkinikan sebagai referensi dalam melaksanakan pembangunan. Kedua adalah kerentanan bangunan dan lokasi. Kerentanan bangunan harus dikurangi semaksimum mungkin dengan menerapkan konsep bangunan/infrastruktur tahan gempa.

Penataan permukiman harus mempertimbangkan apakah berada di lokasi yang berpotensi likuifaksi berat, longsor berat, dan tsunami. Ketiga adalah kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana gempa yang harus selalu ditingkatkan, di antaranya melalui sosialisasi kegempaan, kebencanaan, dan praktik simulasi darurat gempa.

“Selain itu, konflik harus dihindari sedapat mungkin, karena konflik akan melemahkan sistem penanggulangan bencana yang konsekuensinya adalah skala dampak bencana akan membesar,” tegasnya dengan berkaca pada situasi Turki Selatan dan Suriah Utara yang menjadi daerah konflik selama bertahun-tahun.

Menurut Sarwidi, gempa di Turki termasuk sangat mematikan dengan kerusakan yang sangat parah karena dipengaruhi beberapa karakteristiknya. Pertama, ukuran gempa sangat besar dengan pusat gempa yang sangat dangkal sehingga menimbulkan guncangan sangat kuat di permukaan dengan intensitas guncangan MMI maksimum sekitar IX – X atau lebih. Sementara gempa di Yogyakarta pada 2006, perkiraan guncangan maksimumnya berkisar pada MMI VIII-IX dan Gempa Cianjur 2022 diperkirakan MMI VI-VIII.

Gempa utama di Turki juga memiliki pusat gempa sangat dangkal yakni 17 Km dari permukaan bumi. Kemudian disusul dengan gempa besar berukuran 7,5 yang juga sangat dangkal, 10 Km, dan selanjutnya diguncang ratusan gempa susulan lainnya berpusat berentetan sepanjang sesar (patahan) tektonik sekitar 100 Km. Gempa tektonik tersebut terjadi karena pelepasan energi sesar (patahan) tektonik Anatolia Timur, yaitu sesar di perbatasan antara pelat tektonik Arab dan pelat tektonik Anatolia di Turki. Di ujung timur sesar juga berbatasan dengan pelat tektonik Eurasia.

Garis patahan sesar tektonik yang rusak atau patah juga cukup panjang, mencapai sekitar 100 Km, sehingga energi gempa dilepaskan mengguncangkan lokasi tersebut hingga wilayah sekitarnya.

Halaman:

Editor: Chandra Adi N


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x