Ajaran Buddha Tentang Kesetaraan Gender

Tayang: 1 April 2023, 04:11 WIB
Penulis: Sapto Nugroho
Editor: Chandra Adi N
 Buddha Wacana
Buddha Wacana /kemenag.go.id /

PORTAL JOGJA- Pada masa PraBuddha, sistem patriarki sangat kuat. Wanita dianggap milik kaum pria dan tidak memiliki kebebasan. Demikian pula di masa kolonial Belanda, juga mengalami kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam artikel “Kondisi Perempuan Pada Masa Kolonial Hindia Belanda Awal Abad 20” dijelaskan bahwa “Seorang gadis bangsawan tingkat rendah sampai atas pada waktu meningkat menjadi remaja, dimasukkan dalam “pingitan” dan tidak boleh keluar rumah lagi. Ini merupakan peraturan adat dan harus ditaati. Selama masa pingitan, semua hubungannya dengan masyarakat luar terputus, sampai pada saat gadis tersebut oleh orang tuanya dikawinkan dengan seorang pria yang bukan pilihannya sendiri dan bahkan seringkali juga belum pernah dikenalnya.”

Agama Buddha lahir di tengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa kaum perempuan diposisikan sebagai kaum “pelengkap” yang tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Tentu tidak mudah, karena Buddha memposisikan wanita sama dengan pria.

Baca Juga: Soekarno Tidak Puasa Saat Membacakan Teks Proklamasi yang Bertepatan dengan Bulan Ramadan

Hal ini terlihat ketika Mahapajapati Gotami memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhuni. Permohonan itu ditolak Sang Buddha. Mahapajapati Gotami tidak menyerah, dia berjuang dengan dukungan Bhikkhu Ananda beserta 500 wanita yang telah memakai jubah dan mencukur rambutnya. Mereka menghadap kembali kepada Sang Buddha untuk menerimanya menjadi Bhikkhuni. Akhirnya Sang Buddha mengabulkan permohonannya. Namun, dia harus menjalankan syarat khusus (garudhamma) yang tidak dijalankan oleh Bhikkhu Sangha. Dari sinilah awal Agama Buddha mengangkat kedudukan wanita sama dengan pria.

Ajaran Buddha adalah ajaran untuk siapapun, tanpa membedakan jenis kelamin, maupun status sosial, Sang Buddha tidak mendiskriminasi laki-laki dan perempuan, bahkan status sosial. Sang Buddha memahami bahwa kualitas batin seseorang bukan berdasarkan jenis kelamin, kasta, kelahiran, namun karena perilaku manusia itu sendiri.

Dalam Vasala Sutta, Sang Buddha menjelaskan: “Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi Brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi Brahmana (mulia)”.

Bahkan, dalam Karaniyametta Sutta, ada sebuah kalimat yang menyatakan bahwa cinta kasih bagaikan seorang ibu melindungi anaknya yang tunggal. Dari kalimat ini jelas sekali, Sang Buddha memandang bahwa wanita memiliki perasaan cinta kasih yang luar biasa. Wanita bukan hanya sebagai seorang ibu bagi anaknya, namun juga sebagai seorang istri bagi suaminya.

Sang Buddha sudah mengkampanyekan kesetaraan gender jauh sebelum isu kesetaraan gender yang diperbincangkan belakangan ini. Selain dari sutta tersebut, ada sebuah kisah ketika Sang Buddha menegaskan kedudukan wanita bisa saja lebih tinggi dari laki-laki. Yaitu, ketika istri Raja Pasenadi melahirkan anak perempuan.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sudah Mengawali Salat Tarawih di IKN Nusantara Sebelum Titik Nol Diresmikan

Halaman:

Sumber: kemenag.go.id


Tags

Terkini

Trending

Berita Pilgub